Kumpulan puisi Idris Wahid

Puisi-puisi Idris Wahid

Sajak Para Malaikat

Puisi yang belum selesai, kini membangunkan aku dari mimpi hidup,
ia menemui malaikat Rahman agar segera menancapkan kembali kesadaranku,
ia menghadap malaikat Rahim agar bergegas mengadzaniku.
Ia bentak-bentak para pengawal ruang sadarku, ia  maki-maki para ksatria jiwaku.
seakan ia tak rela jika tinta ini habis sebelum masanya, ia tak mengijinkan kertas ini sobek
sebelum liurku mengendap atas namanya.
Tetapi ia tak murka, semurka maunya, tetapi ia tak menangis semiris keluhnya.
Silahkan Kekasih membongkar wajah kemalasyan ini,
Cobalah jebol pagar pembatas kesungguhan ini. Sampai ada lubang untuk aku biacara

Universitas TIM Cikini

Nyanyian Kenangan

Siapa sangka kalau kita sudah merdeka
Satu abad rasanya
Kebangkitan Nasional dikenang dilayar lebar
Namun siapa nyana
Jika sekedar tema seminar, workshop
Atau bahkan simposium kebangsaan

Siapa bilang negeri kita loyo,

Kebangkitan ultra nasional
Perayaan semangat juang
Selebrasi kaum TNI-POLRI
Bertumpah ruah di negeri ini

Siapa sangka air mata leluhur
Menjadi menu ice jus dan batagor
Disajikan lengkap pernak-pernik bangsawan
Berharap bisa nyapres tahun depan

Siapa bilang negeri ini hina,

Dengan latar kraton Jawa
Kepongahan sang begawan
Menjelma betebar roh-roh
Kemengahan singgasana

Siapa bilang negeri ini miskin,

Emang kalian tak ngerti
Kalau kita ini gemah ripah loh jinawi
Menjadi platform Indonesia sejati
Meskipun dalam mimpi

Bukit Bintang, Malaysia/2010

Jejak

Nasehat Untuk “terkasih”
Diayun ayun dengan cara apa lagi, agar kekasih sanggup menanti
Selendang iradzah itu menempel diranum wajah tanpa lelah,
Harus dengan cara apa lagi, agar kekasih sungguh terkasih.
Sementara ratusan, bahkan puluah ribu mata meminta jawab tanpa tanya
Memejamkan hati untuk meniadakan rasionalitasnya
Kekasih,
Kau jangan ikut mengumpat.
Sebab kata adalah jaminan pintu selamat
Kau jangan ikut berserak
Sebab  perceraian menyumbat rahmat yang sebentar lagi mampir
Kekasih,
Sudah sediakan saja tempayan cintamu untuk sarapan kita kelak
Akupun sudah rindu dengan pagi yang selalu kau temani
Ini bukan rayuan ataupun bualan lelaki masa kini,
Ini juga bukan permintaan, melainkan keharusan Adamiyah

PBNU, 2012

Berdirilah

Aku berlari diatas bara
yang terbuat dari fatwa dan sejarah
riuh angin fajar
mendesir embun dedaun Tuhan

Aku berendam di Pasir Sungai
Merindu pesakitan akal
Liur darah hidup menyelinap sepi
selalu kunanti dan kurengkuh sendiri

musola pbnu, 2012

Nihayah

aku bertutur pada rimba nihayahku
menyandarkan lelah usai pengembaraan
aku berjejal disemak persemayaman
sekadar mengumam senyum diperbatasan

Nyanyian Sebrang

sudah sampai waktunya
cendawan madu mengulurkan layurnya
berbatas resah diatap basah

Indahnya Kerudung

Kerudung yang kubawakan untukmu, Sayangku
Masih hafalkah warnanya
Sarung sutra yang kau pinjamkan untukku, Sayangku
Masih kusimpan dalam kenangnya
Rukoh yang kau titipkan padaku, kekasihku
Masih tertata rapih sedia kala
Bahkan sesekali tetangga meminjamnya

Pada sore yang binar
Aku melihatmu telanjang bulat
Memakan senja seolah petang menjemput
Moleknya tubuh hawa

Semangat yang aku titipkanpadamu, Sayangku
Masihkah kau jaga untukku
Masihkah kau memimpi menjadi aku
Sudahlah sayangku bangun dari tidurmu

Perawan itu aku jaga
Melebihi perjakaku
Nafsumu aku bungkam
Dengan nafsu cita desaku

Bangkok, Thailand/ 2010

Sekolah Asal-Asalan

Bapak guru yang terhormat
Aku memang banyak tingkah
Tapi aslinya khidmat
Ajukan konsep perubahan
Berdalih investasi masa depan
Ujung-ujungnya sich bantuan finansial

Bapak guru yang tercinta
Program dan kebjikanmu numpuk
Berjejal menghiasi lantai marmer
Layaknya kantor kementerian

Ambisimu sibuk
Dengarkan khotbah para tetangga
Investor asing siap membeli gedung kita

Kualitas murid itu nomor dua
yang utama itu bantuan selalu ada
kualitas guru itu nomor tiga
yang penting itu status sekolahannya

Pasar Bugis, Singapure/2010

Pasrah

Aku hanya bisa
Jadi hinaan yang
Sederhana

Maka aku bertaut
Bersama fitnahnya

Memungkinkan
Atau tidaknya

Memang demikian adanya

Hat-Yai, Thailand 2010

Puisi Karena kau adalah jiwaku

Tak ingin berhenti.
Meski hujan terus saja basahi bumi.
Basahi hati.
Basahi cinta.
Basahi rasa.

Meski kau tertawa menatap kekuyupanku.
Kadang dlm gigil dan igauan.
Karena aku punya cinta.
Karena aku punya jiwa.
Karena aku punya hati.

Kita semua masih meraba dan selalu tak merasa yakin.
Matahari memberi kehidupan.
Malampun juga memberi kehidupan.
Panas dan dingin.
Terik dan hujan.
Tangis dan tawa.
Bahkan sikecoa itupun juga .
Atau jadah yg kau anggap paling hina.

Tidak...
Tidak...
Semua ada gunanya.
Meskipun nyamuk.

Puisi akan terus bergulir dimana kumau dan tak kumau.
Dalam diam dan gulita.
Dalam sepi dan nyata.
Rimanya tetap sama indahnya.
Seperti dirimu adanya.

Novel Oryzaee Kun Fayakun Cinta.

Kunfayakun Cinta
Karya oryzaee


Ku buka sedikit demi sedikit mataku yang masih terasa sangat berat untuk ku buka, rasa kantuk yang begitu membuat selimut enggan meninggalkanku. Terdengar sayup-sayup kumandang adzan subuh yang membuatku harus bangun,
" Ecca! Ayo bangun ... kita subuhan..."
suara yang khas terdengar, ya begitulah cara ayah membangunkankku.
" ya "
Dengan nada lirih aku menjawab dan berjalan dengan lesu menahan kantuk. Segera ku ambil air wudzu, ku sentuh air wudzu dengan membaca ayat-ayat niat untuk berwudzu, ku basuh muka yang terasa segar dan menghilangkan rasa kantukku.
Jam 06.30 yang artinya aku harus segera berangkat ke kampus untuk masuk jam pertama yang paling menyebalkan, karena harus berangkat pagi artinya aku harus berdesak-desakkan di bus.
Ya, bus. Walaupun jika dilihat dari segi materi alhamdulillah aku tidak kekurangan. Seringkali orangtua menginginkan untuk mengantar bahkan membelikan kendaraan pribadi untuk keperluanku, tapi sering kali juga aku tolak dengan alasan yang simple karena takut jika aku punya kendaraan sendiri pasti aku akan jarang ada dirumah karena sibuk menjelajah.
Dan alasan kedua aku paling anti untuk di antar kekampus because mereka mengantar pake mobil yang paling membuatku tak mau teman- temanku tau, karena aku nggak mau mereka berteman denganku karna aku ini anak siapa, berpangkat apa. Yang aku mau mereka tulus berteman denganku karena pribadiku dan tulus itu yang paling penting.
Yapz dan dugaanku benar ku setop bus dan aku dapat posisi yang paling mengerikan tepat berada di ambang pintu karna sesak dengan penumpang, maklum jam sepagi ini waktunya orang beraktifitas berangkat kerja, sekolah , ngampus sepertiku, dll.
Dengan supir bus yang ugal-ugalan yang saling kejar mengejar bus lain untuk saingan setoran, banyak celotehan yang keluar dari mulut penumpang bus, " ati-ati to pak-pak...wong bawa manusia banyak yang punya nyawa" suara ibu-ibu yang sudah lansia.
" ojo oyak-oyaan to pir-pir, alon-alon wong rejeki yo wes ono seng ngator(jangan kejar-kejaran donk supir, pelan-pelan rejeki sudah ada yang mengaturnya)" suara penumpang lain.
Aku hanya terdiam dengan seerat mungkin berpegangan dengan wajah yang tegang dengan terus berucap di dalam hatiku
"ya Allah mudahkan dan lindungi aku".
Akhirnya aku sampai dengan selamat di kampus. Kampus masih sepi karna memang masih terlalu pagi, hanya ada beberapa kendaraan yang sudah terparkir dan beberapa orang yang mondar mandir di kampus.
Sambil menikmati suasana pagi dan kampus yang masih sepi belum terkotori dengan polusi, aku berjalan perlahan menuju kelas yang berada di lantai dua kampusku dan itu kelas favoritku karena di sana aku bisa melihat pemandangan hijau desa-desa dan laut yang indah, ya karna kampusku berada di dataran tinggi dan daerahnya dekat dengan daerah pesisir.
Kupandangi sekeliling yang begitu indah dengan kesejukan angin pagi yang menembus masuk sampai ketulang-tulang ku. Dalam hati aku bicara " subhanallah, maha besar allah yang begitu hebat dan baik hati menciptakan begitu indah alam ciptaannya ini khusus untuk hamba- hambanya" .
"Eccaaaaa!"
Suara yang mengejutkanku, ya suara dua teman dekatku Devi dan Deva. Si kembar siam beda bapak beda ibu. Dijuluki kembar cuma karna kesamaan nama mereka yang di awali dengan huruf " D" dan di tengah huruf "V". Punya hoby yang sama suka Gosip dan Kepo dengan urusan orang lain, termasuk tentang aku. Kecuali satu yang membedakan mereka, yaitu postur tubuh mereka. Kalo Devi tinggi dan ramping, samalah kaya aku bobot badannya juga sama. Tapi kalo Deva paling gendut diantara kami, secara hobynya makan nggak bisa diatur.
"pagi-pagi udah ngalamun, mending kantin yuk... laper ni belum sarapan" kata Devi dengan logat khas jawanya masih kentel.
" Dasar si Vi jam segini kantin belum buka kalik, lagian benar lagi paling dosen masuk... ntar aj deh abis jam ini" ucap Deva yang sama dengan fikiranku.
Waktu berjalan, kampus mulai ramai dan kelas-kelas mulai terisi diskusi- diskusi dosen yang cukup membuat beberapa orang merasa tegang bahkan mengantuk.
Setelah jam kuliah pertam selesai, aku Devi dan Deva keluar dan menuruti kemauan Devi yang tertunda tadi pagi untuk makan.
"aku duduk di sini... kalian pesen makan dulu, aku udah makan...minum aja ya teh anget"
"ok! yonya" ledek Deva, berjalan kearah ibu kantin "
rames dua, teh anget tiga ya bu di meja sana" ucap Deva sambil menunjuk arah meja yang kami tempati.
"ya nduk" jawab ibu kantin.
"hari ini kita full ya, ach padahal aku mau nonton sepak bola turnamen antar fakultas, sambil cuci mata...hahaha" ucap Devi sambil cengengesan.
"kamu mau cucimata, perlu tak bawain sabun biar bersih...hhh" kata Deva, aku hanya tersenyum mendengar celotehan mereka yang mulai berdebat kecil.
"kayaknya nggak perlu cucimata nanti deh... sekarang juga udah bening ni mata"
kata Devi, yang tiba-tiba berpaling pandangan ke arah belakangku. Dengan serentak aku dan Deva menengok ke belakang mengikuti arah pandang Devi dan melihat seorang pemuda yang tampan, rapi, santun dan senyumnya khasnya. Ya dia kak Fikri senior kami dan idola kami juga, tapi cuma Devi dan Deva yang begitu menggilainya.
"hemmm.... subhanallah senyumnya nembus sampe hati, ke jantung, ke perut ..." kata Devi dan Deva saut-sautan "kalian terpesona apa laper" jawab ku, memandangan mereka bingung.
"laper si....hahahah" kata Deva dibarengi dengan tawa buyar kami. Mereka mulai menyantap makanan mereka dan aku duduk di dekat meraka. Aku merasa ada yang memperhatikanku, berlahan aku menoleh kearah sosok itu dan benar kak Fikri yang duduk tak jauh dari tempat kami, hanya tersekat beberapa tempat duduk. Aku tersenyum reflek sambil mengangkukkan kepala mengisyaratkan salam. Dia membalas dengan senyum khasnya juga. Karena merasa malu aku langsung berpaling sambil meminum teh hangat pesananku.
" hah, perut kenyang hati pun senang" ucap Deva dengan senyum sumringahnya dan menepuk-nepuk perutnya. Aku hanya tersenyum dan melanjutkan melihat gambar-gambar cepretanku di hp. Devi yang sibuk ngemil sambil memperhatikan Fikri yang tertangkap basah memandang ke arah kami " hey Ca, liat tu kak Fikri liatin kamu dari tadi"
"hem... sotoi mungkin dia lagi ngliatin kearah belang ku, keliatannya aja liatin aku, jangan ngaco dech" sangkal ku sambil tersenyum terpaksa dan sedikit gugup.
"ach... kamu ni nggak percayaan si, kayaknya kalo kamu sama dia cucok deh" tambah Devi
"yap cucok B.G.T" sahut Deva
"hust... gak usah ngarang dech, perpus yuk aku mau cari buku buat materi besok" ucapku untuk menghentikan hayalan mereka.
"ach, kamu ni Ca sampai kapan si mau jomblo... kesempatan cuma datang satu kali" kata devi .
"heh ngomong apa si, dasar ibu-ibu ... cepet bayar " putusku. Kami keluar kantin dengan diam-diam aku melihat kearah kak Fikri yang kebetulan sedang menghadap kearah kami dan melempar senyum padaku. Aku membalas senyumnya dengan cepat berpaling menyusul Deva dan Devi.
Ku pilah-pilah buku-buku di rak. Sementara Deva dan Devi asik dengan laptop mereka, dengan srius aku mencari buku yang ku cari tiba-tiba
" cari buku ini?! "
suara yang mengejutkanku hingga membuatku sedikit melonjak, segera ku balikkan badan dan ternyata kak Fikri yang berdiri tepat di belakangku dengan menyodorkan buku yang ku cari.
"hem" reflek krna kaget " i-iya...kok tau...makasi " gugup sambil menerima bukunya.
"ya tau... kebetulan hasil search kamu di komputer belum keluar dan kebetulan juga aku melihat buku ini masih di meja, mungkin ada yang baru membacanya" jelas kak Fikri dengan menebar senyumnya padaku.
"oow gitu, makasi kak kalo gitu aku kesana dulu ya" jawabku dengan menunjuk meja tempat duduk Deva dan Devi.
"oh, ok! Sama-sama" aku berjalan ke arah Deva dan Devi
"eee tunggu!" baru seperempat langkahku aku kembali membalikan badan ku kearah kak Fikri
"ya! Kenapa kak?"
"nggak, nanti ada seminar mengenai sistematika pembuatan karya tulis ilmiah dan kebetulan aku jadi panitianya kalau kamu dan teman-temanmu bersedia ikut kegiatannya untuk tambah - tambah referensi " dengan tersenyum berharap
"oh ya kak insyaallah ya, Makasi infonya" jawabku sambil tersenyum lembut.
"ok! See you" balas kak Fikri sambil tersenyum dan meninggalkan tempatnya berdiri tadi. Aku melanjutkan langkahku dan berfikir, kapan kak Fikri berjalan kearahku apa karna aku terlalu khusuk mencari buku sampai tak tau kalau ada orang diblakangku. Hem mungkin hanya kebetulan, aku berjalan sambil senyum-senyum tak jelas.
"hey! Ca, wah so sweet! Jadi ngiri ni ... hahahaha " sahut Deva dan Devi yang ternyata sedari tadi mereka memperhatikanku dengan kak Fikri dengan ekspresi muka mereka yang sok imut.
"hem. apaan si gak usah ngeres dech tadi cuma kebetulan aja"
"kebetulan kok sampe dua kali si" bantah Deva menggodaku.
" dua kali?... Kapan? kan baru ini " sangkalku penasaran sambil mengingat-ingat " dua kali dong, yang tadi di kantin diam-diam curi pandang ke arahmu dan yang kedua masak tiba-tiba dia ada saat kamu butuh bantuan, udah kaya jin aja... hahaha" tambah Devi mendukung Deva dan mereka saling cekikikan, membuatku memanyunkan mulutku.
"suuuutttt.... mohon tenang, jangan membuat kegaduhan di sini!" ketus petugas perpustakaan, yang sontak menghentikan acara cekikikan Deva dan Devi yang mulai clinguran mengganti ekspresi mereka.
"ach kalian... udah yok keluar... jam berapa ni? harus masuk kelas nanti telat". Sambil memasukkan buku ketasku dan beranjak berjalan mendahului Deva dan Devi.
"yuuukk, capcus.." tambah Deva mengikuti langkahku.
"ech Ca, tadi kak Fikri bilang apa?" Devi ternyata masih penasaran " mau tau aja?, apa mau tau banget?... hem" jawabkku sambil yengir meledek.
"ach, aku srius ca!" tambah Devi merengek.
"hehe... nggak dia Cuma bilang nanti ada seminar karya tulis ilmiah dan meminta kita untuk ikut, kalau bisa..." jawabku santai .
"bisa! Ayo berangkat sekarang" jawab Deva Devi serentak yang membuat ku bingung dan kaget memandangan mereka berdua bergantian. Yang menunjukkan wajah binar mereka.
"hey! Kalian kita kan ada kelas sekarang, nanti aja abis kelas kita selesai" jawab ku kesal dan meneruskan langkahku.
"hem, kalau nanti keburu habis acaranya Ca!" pinta Deva merengek sambil menarik-narik tangan kiriku.
"memang kenapa kalau selesai... kan masih ada acara lagi kapan-kapan gak harus sekarang kan?" jawabku santai.
"tapi, kalau besok-besok belum tentu kak Fikri ikutkan" bantah Devi. Yang membuatku terhenti dan berbalik memandang mereka.
"haduh, teman-temanku sayang, kalian mau ikut seminar untuk ketemu kak Fikri atau mengambil ilmunya?"
ketemu kak Fikri!"
serentak mereka menjawab keras sampai semua orang yang ada di sekitar kami memandangi kami. Yang membuatku terkejut dan melihat kesekeliling ku, ya Deva Devi sukses membuat kami dijadikan perhatian. Deva dan Devi menutup mulut mereka dengan tangan masing-masing, aku memandanng mereka tersenyum heran kepada mereka sambil berjalan meninggalkan mereka.
"Ca tunggu, kamu si Va keras- keras"
"yee, kok aku si kamu juga kan iya" mereka berdepat saling menyalahkan.
Aku hanya tersenyum melihat mereka saling menyangkal. Aku keluar kelas dan tiba-tiba Deva dan Devi menarik tangan kanan dan kiriku berlari menuruni tangga.
"hey!... kalian kenapa si? Mau kemana? Pelen-pelan donk!" pintaku dengan ekspresi heran yang mereka sambut dengan senyum santai mereka.
"udah ayo ikut keburu telat!"
"hem untung belum selesai, ayo duduk!" pinta Devi menarikku duduk di tengah mereka berdua.
Aku masi keheranan melihat Deva dan Devi bergantian, yang ternyata membawaku ke seminar yang di tawarkan kak Fikri "hem ... dasar modus kalian, bilang aja mau liat kak Fikri pake buru-buru.... pelan-pelan kan bisa" "suuuuuttttt!" serentak Deva Devi memotong omelanku menyuruhku diam tanpa menoleh kearahku.
"hem, subhanallah kak Fikri santunnya kalo ngomong, gaya bicaranya lembut"
Devi sambil menyanggah dagunya dengan tangan kanannya tanpa berkedip memandangi kak Fikri yang sedang memimpin diskusi.
"betah dech sampai besok di sini" tambah Deva dengan ekspresi yang sama. Aku tengak tengok sesekali melihat mereka dengan tersenyum heran, heran karna melihat mereka begitu terpesona dengan sosok kak Fikri. Memang tak bisa di sangkal sosok kak Fikri yang baik, tampan, soleh, sopan pula. Jadi wajar kalau banyak gadis-gadis mengidolakannya. Aku beranjak berdiri karna acara sudah selesai. Tapi Deva dan Devi masih melongo memandangi kak Fikri sambil senyum-senyum sendiri .
"hey! Plok! " ucapku sambil menepuk tanganku di hadapan mereka dan mengagetkan mereka.
"ahh...kamu Ca ganggu orang aja" jawab Devi dengan nada kesal dan melanjutkan posenya.
"hey kalian liat donk udah sepi acaranya udah selesai sayang....ayo pulang udah soreni" aku berjalan meninggalkan mereka dan mereka mengikutiku.
"Ca, kamu kenapa si?" tanya Deva
" kenpa? Kenapa apanya? " aku heran dengan pertanyaannya " ya, kenapa? Gak kayak cewek lain yang kalau di deketin kak Fikri tu gugup, terpesona, kagum, gak bisa ngomong... kamu malah biyasa aja... apa jangan-jangan..."
"jangan-jangan apa!" sautku memotong kalimat Devi. "jangan-jangan kamu gak suka sama cowok ya?"kata Devi yang mengagetkanku
"hey, kalian ni ngaco dech kalo aku gak suka cowok knapa aku nggak macarin kalian aja" jawabku santai, menaikan sebelah alisku menggoda mereka.
"hiiiii, Deva aja ni aku gak mau" ekspresi alay devi muncul
"hhh, nggak becanda, memang kak Fikri patut untuk di kagumi tapi bukan berarti harus terlalu mengaguminya, dan aku lebih mengagumi Allah karna dia yang menciptakan mahluk yang kalian kagumi itu ... ya nggak!"
"ya!... Bu Ustad" jawab serentak mereka
" yap! Anak pinter" di barengi dengan tawa lepas kami.
Sampai di komplek rumah, aku berhenti sebentar untuk duduk di tepi danau yang tak jauh dari rumahku. Untuk menikmati sepoy-sepoy angin sore dan melihat sang surya tenggelam. Aku pejamkan mataku, menghadapkan wajahku ke arah langit menikmati sejuknya angin meniup-niup tubuhku dengan membawa harumnya bunga-bunga dan aroma air yang khas. karena telalu lelap dalam pesona itu, sampai - sampai lupa waktu.
Ku lihat jam di tanganku ternyata sudah hampir jam lima sore. Aku segera bangun dan terhenti pandanganku melihat seseorang yang berada di sebrang danau, tepatnya di depanku. Laki-laki yang sedang asik dengan kameranya. Aku berbalik dan melangkah pulang.
"tok...tok...tok.... asalamualaikum"
"walaikum salam" suara ibuku, membukakan pintu dan ku raih tangannya kemudian ku cium punggng tangannya.
"cepat mandi, kita solat magrib bareng, setelah itu makan"
"ya, buk" jawabku sambil berjalan kekamar. Kuletakkan tasku kemudian mengambil handuk bergegas mandi. Beginilah keseharianku dengan keluargaku, selalu mewajibkan untuk solat berjamaah dan makan bersama. Setelah makan aku iseng-iseng membuka facebook untuk sekedar melihat-lihat updetan anak-anak. Ada pesan inbok dari kak Fikri yang baru saja di kirim " asalamualaikum Ca?"
"walaikumsalam kak"
"gimana tadi seminarnya paham?"
"insyaallah paham kak"
"alhamdulillah, Ca boleh minta no hp kamu? Buat kalau-kalau nanti ada info biar bisa bagi-bagi... hehehe" hal yang membuatku kaget dan senyum-senyum sendiri " hhh... iya kak, 089765554xx"
"ok! Makasi ya... udah malem tidur jangan malem-malem tidurnya gak baik buat kesehatan... ok see you ca!"
"hhh ya sma" kak, ok see you too!"
Hal yang masih membuatku bingung dan ada rasa bahagia, kak Fikri minta nomor hp ku. Hal yang mungkin didambakan kebanyakan wanita. Mungkin kalau Deva dan Devi yang mengalaminya bahagia mereka akan serasa dapat uang miliyaran rupiah dengan bahasa alay mereka. Karna sudah malam dan sudah mulai menguap aku memutuskan untuk tidur.
Sepertinya baru semenit aku menutup mata, tiba-tiba sudah subuh. Kebetulan hari ini aku libur jadi kuputuskan setelah solat subuh aku dan ayah pergi keluar untuk joging mengelilingi danau. Setengah perjalanan aku melihat laki-laki yang sepertinya kemarin juga aku melihatnya.
"asalamualaikum nak David!" sapa ayah yang membuatku terkejut dan reflek memandang ayah yang tersenyum kearah laki-laki itu.
"walaikumsalam om!... wah rajin joging ya om" jawab laki-laki itu dengan sopan.
"ya begitulah untuk menjaga tulang-tulang tua yang mau kropos ini...
hahaha" ucap ayah yang memancing tawa kami.
"oh iya nak David, kenalkan ini anak om Ecca" aku sambut menganggukkan kepala dan senyum kearahnya.
"oh, ya salam kenal... Eavid" mengulurkan tangannya dan kutrima dengan sambutan tangan dan senyum. "Ecca"
"oh ya, gimana udah dapet sample fotonya, gimana baguskan panorama di sini?" tanya ayahku dengan senyum membanggakan pendapatnya.
"ya, tentu sangat indah, tapi saya sedang mencari suasana damai seperti di persawahan dan kebun milik penduduk desa"
"benarkah, kebetulan di dekat sini ada area persawahan penduduk"
"wah benarkah, bisakah om mengantarkan saya"
"wah gimana ya, maaf nak David hari ini om nggak bisa, ada urusan yang mendesak, tapi kalu mau biar Ecca yang mengantar, gimana Ca?" tanya ayah yang membuyarkan lamunanku.
"hem" jawabku kaget " ya insyaallah yah"
"kok insyaallah, kamu kan libur dari pada bengong di rumah lebih baik jalan-jalan sambil menghirup udara segar luar"
"kalo tidak bisa tidak pa-pa om, mungkin lain kali bisa" jawab David
"tidak-tidak Ecca bisa kok, ya kan Ca?"
"eem, iya yah" jawabku sambil tersemyum ya waluapun agak terpaksa, sebenarnya aku ingin menghabiskan waktu liburku dikamar seharian. Tapi tak apalah itung-itung nambah pahala.
"alhamdulillah" kata ayah, kami melanjutkan berkeliling danau sembari ayah mengobrol dengan David. Lelaki yang baru ku kenal itu, sosok pria dengan tubuh yang tinggi ramping, potongan rambut mandarin dengan kacamata yang membingkai kedua mata coklatnya, yang menurutku cukup sopan dan sepertinya baik. Aku berjalan di belakang mereka sambil melihat-lihat keindahan sekitar danau. Saking asik melihat pesona danau yang indah dan sayang untuk di tinggalkan, sampai aku tak melihat ada lubang di depanku.
"ya Allah! aww Ayah!" triakku sambil menahan sakit karna sepertinya kakiku terkilir
"ya Allah Ca! Kok bisa si ati-ati to nduk-nduk "Ayah mengangkatku, di bantu David yang memeriksa kakiku.
"aaww... ya Allah ..sakit-sakit!, jangan di sentuh dech" pintaku menghentikan sentuhan tangan David di kakiku.
"kamu kesleo, bentar ya tahan sedikit" aku hanya bisa mengangguk dengan ekspresi menahan sakitku, Davit mencoba memijat kakiku.
"sudah, mungkin kamu masih sulit berjalan pasti sakit" kata David
"ya sakit, tapi mudah-mudahan gak papa "
"aku tuntun sampai rumah ya?" terdengar saura dan raut wajah kawatir David, yang membuat ku sedikit tercengang dan kembali tersadar . menggelengkan kepalaku.
"oohh gak usah kan ada Ayah, makasi, maaf ya kayaknya nanti gak bisa nganterin kamu dech"
"oh, gak pa-pa lain kali kan bisa... ya kan om"
"ya donk pasti, ya sudah om pulang dulu kasian Ecca biar langsung di urus ibunya"
"ya om, ati-ati asalamualaikum"
"walaikumsalam" jawab Ayah sambil menuntunku pulang, dengan berlahan aku berjalan menahan rasa sakit hasil kesleo tadi.
"bu!... bu! ... tolong anakmu ini, keseleo dia"
"ya Allah nak kok bisa to" Ibu berlari kearahku dengan wajah kawatir. Membuatku tersenyum karna raut wajahnya lucu kalo kawatir hhh.
"sudah biar istirahat dulu di dalam beri minyak gosok kakinya biar nnggak bengkak buk" jawab Ayah menghentikan kekawatiran Ibu.
"iya pak!...ayo-ayo nduk... haduh-haduh kok bisa to nduk-nduk ada-ada aja kamu ini"
(((Eet...tahan dulu,sambungannya disebelah.nmr 2..)))

Novel Oryzaee Kun Fayakun Cinta

((( Sebelumnya ))) ((( sambungan 2 )))
"namanya juga musibah buk, ya bisa dong kan kunfayakun... hhh"
"kamu ini udah begini juga masih becanda, ayo ibu urut setelah itu istirahat" kata ibu dengan ekspresi paniknya dan aku menganggukan kepala dan senyumku.
Keesokan harinya aku absen ke kampus soalnya kesleoku masih terlalu sakit untuk digunakan berjalan. Deva Devi datang kerumah untuk melihat keadaanku. Dan yang membuatku kesal dengan mereka, bukannya menengokku dulu malah kedapur cari makanan. Begitulah mereka sudah ku anggap seperti saudara sendiri, orang tuaku juga sudah akrab dengan mereka.
"Ca! Kok bisa si sampe gitu... makanya kalo jalan jangan mikirin kak Fikri, jadi gitu kan"
"hey!... kamu tu ya Vi sotoi, siapa yang mikirin kak Fikri, kalau kamu mungkin iya .... hem" kata ku membantah dengan senyum dan menggelengkan kepala ku, melihat tingkah Devi.
"Ca, tadi kita ketemu kak Fikri Dia nanyain kamu" "ooh gitu " jawabku santai sambil meneruskan melihat majalahku.
"dia nanyain kamu" tambah Devi dengan nada yang sepertinya kesal.
"emm... " jawabku dengan ekspresi datar, ya mau gmana lagi memang hnya seperti itu.
"ach Ecca!... santai amat si jawabnya harusnyakan kamu kaget, gembira, seneng, loncat-loncat" jawab Deva dengan gaya alaynya sambil makan cupcake buatan ibuku.
"hhh... kenapa harus segitunya... itukan kalian... hhh, ya mungkin kebetulan aja tannya gitu, secara biasanya akukan bareng kalian... ya kan?"
"ya iya si tapikan, sorot matanya saat mengucap namamu tu seperti ada sesuatu yang tersimpan " dengan gaya ekspresi dramatis Devi.
"hemmm, mulai dech... dari pada ngomongin yang gak jelas temenin aku jalan yok, biyar kakiku nggak kaku biar besok bisa masuk, bosen dirumah..." pintaku dibarengi dengan uluran tangan Deva Devi yang siap mengawal dan menuntunku. Masih cukup sulit kakiku untuk berjalan sendiri. Kami keluar rumah menuju taman depan rumahku.
"hey! Masih sakit? Harusnya buat istirahat dulu" suara yang mengejutkan kami, serentak kami menoleh kearah suara itu. David yang ternyata tinggal tepat didepan rumahku, nggak tau dari kapan soalnya aku baru liat dia kemaren, mungkin karna aku kurang peka jadi gak tau juga.
"hey! Masih si, tapi harus di buat jalan biar cepet pulih kalau nggak gini...
kapan sembuhnya"
jawabku dengan ekspresi tersenyum, dan melihat Deva Devi yang melongo keheranan melihat David dan aku mengobrol.
"oh iya, kenalin ini Deva dan Devi temenku"ucapku membuyarkan lamunan mereka.
"oh hay! David" dengan menyalami tangan Deva dan Devi
"ok, kalo gitu aku mau keliling dulu cari-cari objek, ati-ati ya Ca cepet sembuh... daaa" melambaikan tangannya.
"ya, amin... ati-ati juga ya daa" balasku, David beranjak pergi dan aku meneruskan menggerakkan kakiku
"Ecca!! Gantengggggg B.G.T.., kamu kok nggak bilang si ada pangeran seganteng itu disini, tau gitu tiap hari aku kesini terus" ekspresi dan bahasa alay Deva Devi muncul.
"ihh, kalian tu nggak bisa liat orang bening dikit... aku aja baru kenal kemarin, itupun ayahku yang ngenalin... udah dech gak usah alay bantuin aku jalan ni" dengan ekspresi cemberut mereka menuntunku lagi, karna merasa cukup untuk hari ini kami kembali ke rumahku.
"Ca, pulang dulu ya, tante kita pulang ya... besok kesini lagi dech!"
"ya, ati-ati nak" jawab Ibu dari aarah dapur.
"Ca besok kita kesini lagi nggak usah sedih"
"siapa yang sedih... PD, alhamdulillah malah nggak ngabisin makanan lagi... hem" senyumku meledek mereka
"hhhhh tau aja,ok! Daaa Ca!"
"daaa!" kataku membalas lambaian mereka dan berjalan menjauh.
Tiba-tiba hp ku berdering, panggilan nomor yang tak ku kenal
"assalamualaikum, siapa ya?"
" waalaikumsalam! Ca, ini aku Fikri"
"oow, kak Fikri, ya adapa kak?"
"nggak, Cuma pengen tau keadaan kamu aja, katanya kamu sakit sampe nggak masuk tadi"
"eem, alhamdulillah udah mendingan kak, nggak sakit Cuma sedikit kesleo kemarin, tpi udah nggak pa-pa kok, pasti Deva Devi ya yang obral"
"hahaha... obral emang obat di obral, iya tadi kebetulan ketemu mereka, heran juga biyasanya kalian selalu bertiga kok tumben ilang satu" suaranya dengan nada ketawanya
"eem gitu, iya kebetulan belum bisa buat masuk, insya allah mungkin besok bisa"
"amin, tapi kalau memang belum pulih mending buat istirahat dulu aja, ya udah kok malah ganggu kamu ni istirahat gih biar cepet sembuh...
selamat malam Ca... aslamualaikum"
"iya kak, walaikum salam" kutup telfonnya dan entah mengapa aku senyum-senyum sendiri dan terbayang-bayang wajah kak Fikri, perhatian banget dia. ach tapi bukanlah, mungkin hanya karna baru sekali di telfon senior jadi gini rasanya. Aku berbaring dan memejamkan mataku.
Esoknya kakiku masih terasa nyeri, tapi hari ini ada ulangan jadi harus kekampus. Terpaksa aku menerima tawaran Ayah untuk mengantarku kekampus tapi baru setengah jalan mobilnya mogok. Takut telat aku mencoba mencari bus tapi nggak ada satupun bus lewat, aneh banget biasanya banyak banget kalo dibutuhin malah kosong hah menyebalkan. Tiba-tiba ada mobil Jeep biru yang setengah di modif berhenti di depan mobil kami, aku perhatikan sosok yang turun dari mobil ternyata David.
"mobilnya kenpa om?"
"nggak tau ni Vid, tiba-tiba mogok"
"mungkin bisa saya bantu om!"
" ya tentu, bisa kamu bantu om... tolong antarkan Ecca kekampus takut telat nanti, biar om panggil tukang bengkel untuk kesini"
"oow gitu, tapi om nggak pa-pa di sini sendiri"
" ya nggak pa-pa, udah sana Ca berangkat biar David yang antar keburu telat" pinta ayah tegas. Gimana lagi dari pada telat aku langsung setuju saja. Ku cium tangan Ayah dan beranjak berjalan menuju mobil David. Mungkin kasian melihatku sulit untuk berjalan menahan rasa sakit kaki ku, tiba-tiba David merangkul bahuku dan memengang tanganku, menuntunku masuk ke mobilnya. Aku yang kaget langsung melihat kearahnya dan dia membalas dengan senyumnya, dia membukakan pintu dan menyuruhku masuk dan apa ini tiba-tiba ada rasa berbeda di dadaku, ya Tuhan jantungku mulai tak beraturan dan wajahku mulai memanas.
"ma-makasi" ucapku terbatah-batah karna kaget campur gugup, dia tersenyum dan anggukan kepalanya.
Setelah beberapa menit di dalam mobil tampak sunyi tanpa suara, hanya suara mesin mobil yang terdengar menderu, akhirnya David memecah kesunyian ini.
" kuliah ambil jurusan apa Ca?"
"kebetulan aku ambil Seni"
"waw, orang Seni juga to" ledeknya
"hhh... ya bisa dibilang gitu, dari dulu suka gambar-gambar sampe sekarang jadi aku milih Seni "
"oow gitu, bagus dong aku bisa konsultasi masalah gambar-gambar desain ke kamu donk...heheh"
"emm ya... boleh juga, tapi aku pasang tarif ya..heheh"candakku
"hhh... sama tetangga masak pasang tarif" dengan tawanya
"hhh, oh ya sejak kapan kamu tinggal di dekat rumahku? ... aku baru liat kamu kemarin?"
"emm... sebenarnya udah lama aku di sana udah hampir dua minggu, masak si baru liat... aku sering liat kamu loo, berarti kamu kurang peka sama lingkungnmu sendiri sampe ada tetangga barupun nggak tau,,, hhh" ledeknya. Aku hanya bisa tersenyum malu, karna memang mungkin benar katanya aku kurang peka dengan lingkunganku sendiri, haduh betapa malunya aku seakan kartu AS ku sudah di bukanya.
"iya, kali ya... hhh, eh udah sampai ini kampusku"
"ok... boleh juga"
"ya udah, makasi ya Vid maaf jadi ngrepotin, aku masuk kampus ya" dengan mencoba membuka pintu mobil
"eh tunggu!" susar David mencegah, aku menoleh kearah David. Dia keluar mobil dan berlari kearah pintu mobil bagianku dan membukakan pintu untukku membantuku ku turun .
"aku anter sampai kelas kamu ya, kayaknya kamu masih sulit jalan sendiri"
"tapikan... kamu-"
"uadah deh nggak pa-pa" putusnya
" Ecca!" suara Deva Devi yang membuat kami serentak menoleh kearah meraka.
"hey! Kebetulan ada mereka jadi mendingan kamu langsung pulang aja, makasi ya Vid"
"oh iya kebetulan... ok kalo gitu aku pulang dulu, sama-sama baik-baik ya
Ca" dengan mengelus kepalaku, Ku balas dengan senyum heran dan terpesona karna baru kali ini ada yang mengelus kepalaku selain Ayah dan Ibu, dan lagi-lagi jantungku berdegup lebih kencang.
Deva Devi menghampiriku dan merangkulku kami berdiri menunggu mobil David pergi.
"cieeeee, punya Driver baru nih?" ledek Devi.
"ih apaan si, udah yok bantu aku jalan udah telat ni" kami beranjak menuju kelas.
"kantin yuk! laperni" aku hanya bisa tersenyum heran dengan ucapan Deva. Gitu deh dia paling jago kalo masalah makan.
"dasar, baru jam segini udah laper, kapan mau kurus tu badan?...heem" ledekku sambil senyum-senyum disambut dengan tawa lepas kami. Kami menuruti permintaan nyonya Deva kami jalan kekantin, walaupun mereka Alay, Lebay, Kepo, dan paling heboh, Tapi aku bersyukur punya sahabat sebaik dan seperhatian mereka, mereka yang slalu ada saat aku butuh,
saat aku sedih, saat bahagia, tempat aku berbagi. Mereka bagaikan keluarga atau bahkan lebih dari saudara kandung.
Kelas hari ini selesai, waktunya untuk pulang. Matahari juga udah mulai mau tidur, secara udah jam lima sore. Kelasku hari ini emang kebetulan full, cukuplah untuk menambah rasa lelahku selagi nyeri kaki ini belum hilang total.
"ok! Aku pulang ya tu ayah udah nunggu di depan, aku coba jalan sendiri aja ya biar nggak manja... hhh... makasi ya Va Vi"
"ok! Sami-sami nduk...ati-ati ya...daaa" sembari mereka tersenyum, kusambut juga dengan senyuman geli mendengar bahasa khas mereka keluar.
"daaa".
Saat mobil Ayah mulai melaju, Aku menengok kearah Deva Devi yang masih berdiri menungguku pergi.
Aku melihat kak Fikri menghampiri mereka dan melihat Deva Devi bercakap dengannya, sesekali menunjuk-nunjuk ke arah laju mobil Ayah. Aneh juga si tapi mungkin hanya prasangku saja.
Usai makan malam aku membaringkan tubuhku di kasur, walaupun nggak sehat abis makan langsung tidur, tapi tak apalah sesekali ini rasanya capek banget hari ini. HP ku berdering Devi yang menelfonku.
"asalamualaikum.... kenapa buk Devi?" candaku
" hhh... waalaikum salam... Ca tadi kamu di cariin kak Fikri... "
"heem!.... emang kenapa? " kaget ku,
"ya byasa aja kalik... nggak tau katanya si ada yang mau dia omongin...
Ca kayaknya dia mau..."
"mau apa?"potongku
"hhh mau nembak kamu kalik... soalnya akhir-akhir ini kayaknya dia sering nyariin kamu, tanya-tanya tentang kamu, dan diam-diam curi-curi pandang sama kamu... mungkin dia jatuh cinta pada mu...hhh"
"hust! Ngacok dech kalo ngomong... mungkin ada sesuatu yang lain yang mau dia omongin"
"lo siapa tau... emang kamu nggak ngrasa aneh ya, bisa dilihat kalik dari cara dia ngomong, mandang kamu dan bahasa tubuhnya juga... kamu tu nggak peka si"
"ya mugkin iya... aku juga ngrasa aneh si Vi, akhir-akhir ini kak Fikri tingkahnya aneh, tapi mungkin karna aku juniornya jadi mencoba buat deketin ngasi-ngasi info"
"ya tuhanku Ecca!... kamu tu kalo masalah mapel si ok! jagonya, tapi kalo masalah ginian, ya Allah oon B.G.T"
"ya terus aku harus gimana dong, aku juga nggak mau mikirin gituan dulu ach, kamu kan tau aku pengen fokus kuliah dulu aja, capek tau sekolah terus...emang kamu nggak capek?"
"ya... ok-ok aku setuju, tapi nggak ada salahnya kan sedikit kamu buka hati untuk cowok, lagian aku yakin masalah cowok nggak akan buat kamu down"
"ya kita lihat aja nanti nunggu kunfayakun dari Allah... bener nggak...hhh"
"ach kamu tu nggak bisa di ajak srius"
"hhh... ya kan biar nggak cepet tua... srius-srius nanti setres lo"
"Ca... ibuk masuk ya" suara ibu mengetuk pintu kamarku.
"eh udah dulu ya ada ibuk... daaa"
"ok... daaa".
"sini ibu urut kakimu biar nggak kaku" kusambut dengan senyum lembut ku
"nduk... tadi David kesini, nanyain kamu tapi pas kamu belum pulang"
"nanyain? emang kenapa bu?" tanyaku menujukkan ekspresi heran dan penasaran.
"katanya si mau ngajak kamu ke tempat neneknya"
"haaa... ngapain baru juga kenal... udah main ngajak-ngajak aja"
"aduh jangan suudzon gitu ach, dia tu mau ngjak kamu kesana karna kebetulan neneknya tukang urut siapa tau bisa bantu kamu... gitu, lagian ibu liat David baik kok jadi nggak mungkin dia macem-macem, ibu percaya sama dia walapun baru ibu kenal, tapi ibu merasa dia itu... ya baiklah.."
"eem gitu"
"tapi kalo kamu nggak mau ya nggak pa-pa" aku melihat ibu, sembari berfikir ada baiknya juga aku menrima tawaran itu, dari pada harus pake perban terus yang nggak jelas kapan bisa hilang ni nyeri kaki.
"eem... iya dech bu aku mau... tapi di temenin sama Deva Devi ya, masak cuma berdua sama David kan nggak enak"
"hem... alhamdulillah, iya mungkin itu lebih baik... kalo gitu ibu akan siapkan baju ganti kamu. karna mungkin harus nginep... soalnya rumah neneknya agak jauh dari sini tepatnya di daerah pegunungan "
"wahhh... enak ni bisa sambil liburan"
"ya... lagian udah lama kamu nggak liburan, ya sudah kamu hubungi Deva Devi, ibu akan memberi tahu David"
"ok bu" jawabku dengan senyum dan menyambut ciuman di keningku dari Ibu. Aku memberi kabar Deva Devi, dan jawabnya mereka nggak akan pernah nolak kalo masalah liburan.
Setelah subuh kami mulai perjalan di perjalanan kami berbincang- bincanng kesana kemari, walaupun baru kenal David bebrapa hari tapi kami cepat akrab seperti sudah lama kenal dan nyambung juga saat berbincang. Karena suasana jalan yang pemandangan dan aroma tumbuh-tumbuhan pemandangan kebun teh yang menyejukan, perjalanan yang begitu jauh. Aku tengok Deva Devi yang sukses dengan pose mereka siap membuat peta masing-masing (tidur). Sesekali aku melihat David yang fokus menyetir, sedangkan aku sibuk melihat sekeliling memanjakan mata melihat panorama yang sayang untuk dilewatkan.
"oh iya, apa kamu dulu juga tinggal di desa nenekmu Vid?" tanyaku memecah keheningan.
"eem... iya dulu waktu umur tujuh tahun sampe SMP aku tinggal sama nenek, soalnya orang tuaku lagi sibuk-sibuknya ngurusin usaha mereka jadi aku di titipin ke nenek"
"eem gitu... enak ya bisa tiap hari hirup udara sesegar ini"
"ya gitu dech... makanya kalo lagi kangen aku sering kesini itung-itung cari udara sehat yang gak kita dapet di kota"
"iya ya... kapan-kapan boleh dong ikut kesini lagi hhhh"
"boleh, tapi aku pasang tarif ya...hhh"
"hem, balas dendam ni critanya" di sambut dengan tawa kami.
Kalo dipikir-pikir David asik juga orangnya, walupun dilihat dari materi lebih dari cukup tapi tampilannya sederhana nggak neko-neko. Lucu juga si, ah apa si kok jadi mikirin dia.
"Ca... bangun udah sampe" pelan membuka mata, mungkin karna kecapean sampe nggak nyadar aku ketiduran. Saat ku buka lebar mataku, betapa terkagumnya aku saat melihat panorama gunung yang sanagat indah. Gungung dedepanku menjulang tinggi seakan bisa cepat kujangkau, suasana desa yang ramai dan penduduknya yang ramah. Kami berjalan menuju rumah kayu yang sederhana, rapi, dan lumayan luas. Nenek David menyambut kami di pelataran rumahnya. Beliau mengikatku dengan alrmarhum nenekku, dengan busana kebaya khas jawanya yang ia kenakan dengan sanggul rambutnya dan kelihatan sangat ramah sekali menyambut kami, mungkin usianya sekitar 80an.
"Alhamdulillah, wes tekan putu-putuku ayo-ayo ngger ndang mlebu, nenek udah buatin makanan kalian makan dulu pasti laperkan"
"iya nek, tapi David mandi dulu dech"
"oow ngono, yo wes rono-rono"
"Ca, kenapa kok bengong?"
"eem nggak, lagi mikir aja putu-putu apa si? bukannya makanan semacem kue kukus itu ya?" dengan polosnya aku tanya dan sontak membuat Deva, Devi dan David ketawa geli yang membuatku bingung memang ada yang aneh dengan pertanyaankku.
"ya ampyun Ecca!... jadi dari tadi kamu bengong tu karna nggak tau maksud ucapan si nenek, ngomong dong sama aku, putu itu artinya cucu, bukan kue sayang" jawab Devi masih terus tertawa memandangku.
"oow, maaf aku kan nggak tau" dengan memancarkan ekspresi malu ku.
"ya udah aku mau mandi dulu, oh ya kamar kalian ada di ujung sana mentok terus belok kiri, walau sederhana semoga kalian betah ya"
"ya, makasi Vid" jawab Devi. Kami berjalan menuju kamar yang di arahkan David. Kamar yang sederhana tapi menyenangkan, ada satu jendela yang cukup besar terbuat dari kayu dengan sela-sela untuk ventilasi yang saat di buka akan terlihat pemandangan persawahan, kebun-kebun milik warga dan tampak jelas bukit-bukit yang indah.
"Ca, David baik juga ya" kata Devi
"iya, udah baik, sopan, sederhana, perhatian, ganteng lagi" saut Deva
"ya alhamdulillah, tambah lagi satu sahabat baik kita kiriman kunfayakun dari Allah" ku jawab pertanyaan mereka dengan santai.
"took...took...toook!" suara ketukan pintu kamar kami
"Ca... kalo udah siap ayo kita makan bareng, nenek udah nyiapin makanan"
"iya, kita nyusul" ternyata David. Kami beranjak keluar kamar, dengan sabar Deva dan Devi menuntunku kearah meja makan. Sebenarnya aku mau tiduran saja, nggak tahan nahan nyeri kakiku kalo jalan. Tapi nggak enak harus menolak permintaan David dan neneknya.
"aduh-aduh kasian sekali cucuku yang satu ini, ayo nduk di makan dulu setelah itu nenek akan buatkan ramuan dan nenek pijat kakimu di jamin cespleng" kata nenek David dengan bangga yang ku balas dengan senyuman dan tawa kami.
Setelah makan aku kembali kekamar, sedangkan Deva, Devi dan David mereka pergi jalan-jalan keliling kampung. Sebenernya pengen ikut, tapi kakiku nggak bersahabat banget.
"took...took....toook!.... nduk ini nenek"
"iya nek... masuk saja"
"nenek sudah buatkan ramuannya, sini kakinya nenek urutin" dengan aroma ramuan yang cukup membuat mual.
"memang baunya nggak enak tapi kasiatnya wahh, kalah sama obat-obat jaman sekarang" ternyata nenek tau apa yang aku pikirkan.
"awwww.... sakit-sakit nek"
"ndak papa Cuma sebentar, untung cepat dibawa kesini kalo nggak kan bahaya, sekarang memang sakit tapi setelah dipijat dan diberi ramuan ini insyaallah cepet pulih " perhatianku kearah nenek yang sedang memijat kakiku, sambil menahan rasa sakit yang hebat serasa ingin pingsan.
"ya, sudah... nenek perban dan tak kasi ramuan ini, besok nenek pijat lagi insyaallah cepet pulih, jangan di buat jalan dulu ya, nanti kalo mau makan biar nenek yang antar kesini"
"iya nek, makasi nek"
"sama-sama nduk, ya sudah langsung tidur saja pasti lelah baru perjalan jauh dari kota" ku sambut dengan senyum dan anggukan kepalaku. Ku baringkan tubuhkku sembari melihat nenek keluar dan menutup pintu kamarku. Tak menunggu waktu lama, rasanya sehabis dipijat memberi efek ngantuk yang begitu hebat, jadi cepat aku terlelap tau-tau udah pagi dan saat ku lihat samping-sampingku Devi dan Deva udah nggak ada, jendela juga sudah di buka. Penasaran aku mencoba berdiri berjalan ke arah jendela dan melihat aktifitas warga di kebun yang bisa kulihat dari jendela kamar. Ternyata Deva Devi ada di sana mereka melihatku dan melambaikan tangan. Aku sambut dengan lambaian tanganku juga.
"pengen jalan kesana?" suara yang membuatkku melonjak kaget dan langsung menoleh keblakang sambil memegang dadaku yang dedekan karna kaget. ternyata David yang sedari tadi di ambang pintu memperhatikanku entah sejak kapan.
"hah kamu ngagetin aja...eem... iya si tapi-" melihat kearah kakiku yang terbalut dengan perban, dan kembali ku lihat ke arah David yang tersenyum melihatku.
(((Sambung lagi di nmr 3 yaa....)))

Puisi Mayapada Javapusakaningrat

MAYAPADA JAVAPUSAKANINGRAT
Oleh Wisnu Guntur Samudra

Mata kodak terpaku loka tak bertuan
Gemah ripah loh jinawi
Julukannya
Kudapan budaya sarat nuansa makna
Takkan lindap kendati termakan zaman

Masehi.

Dora , Sembada utusan Ajisaka
Berputih tulangsetelah mengadu senjata
Mungkin tak berpedang, namun bersenjata
Kelumit gandeng kata
Mewedar semarak panah Sang Aji

Tertoreh dalam secarik lontar.
Bertikam hikayat epik nan mencekam :

// Ha Na Ca Ra Ka
Mukti kawisesaning Sang Hyang Agung
Harap insan dalam antero purnama Ilahi
Cinta sejati terbersit dari nurani
Kobarkan hasrat sampai aki nini

// Da Ta Sa Wa La
Hidup berbalut apa adanya
Pandang visi nan jauh di mata
Tularkan untaian kasih bak kasih Tuhan
Arungi sinus implikasi
Tanpa batas

// Pa Dha Ja Ya Nya
Memahami kodrat
Hingga detak tak berdegup
Pun nafas tak terhembus

// Ma Ga Ba Tha Nga
Selaras diri bersatu dengan alam
Melucuti ego nan sekian terpendam
Lahirkan indraloka
Bersimpangan bujur dan melintang

Puisi Sajak Embun

Sajak Embun

Karya  Ahmadun Yosi Herfanda

Hanya karena cinta embun menetes
dari ujung bulu matamu, membasahi
rumput dan daun-daun, lalu meresap
ke jantungku. cacing-cacing pun berzikir
padamu, mensyukuri kodratnya tiap waktu

siapa yang menolak bersujud padamu
yang tak bersyukur karena karuniamu?
barangkali hanya orang-orang congkak itu
orang-orang yang berjalan dengan kepala
mendongak ke langit sambil melirik
dengan cibiran harimau

hanya karena cinta hujan menetes
dari sudut pelupuk matamu, membasahi rambutku
menyusup ke pori-pori tubuh, syaraf dan nadi
menghijaukan kembali taman hatiku
burung-burungpun bernyanyi karenaku
berzikir dan bersujud padamu
– ya allah, ampuni adaku padamu!

Puisi Emha Ainun Najib berjudul Ketika Engkau Bersembahyang

Ketika Engkau Bersembahyang

Karya Emha Ainun Najib

Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar

Bacaan Al-Fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya

Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi
Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis

Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup
Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali

Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya

Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun

Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan

Puisi Satu Malam di jalan Braga

SATU MALAM DI JALAN BRAGA
Karya Sufiono,-

Hamparan braga terbentang batu-batu alam
diselimut dingin gemerlap cahaya lampu
tumbuh berserakan bunga-bunga dunia
bercengkerama terselip cinta sesaat
dari caffe trotoar sang juru parkir
tak henti-hentinya melayani tamu bergentayangan
senandung kecapi terseok-seok tarian jemari
tergerus alunan barat menepis priyangan
sedikitpun tak merasa prihatin
campu dan bajigur tak ada lagi bersanding
berselempang sarung berkebaya lugu
hanya seronok hamburger empuk dimanjakan
dompet tebal saweran bergizi
tertatih-tatih mengembalikan priangan asli
filter tameng di hati sendiri.

Bandung, 6 Juli 2014

Puisi Perjalan Kelangit

Perjalanan Ke Langit

Karya Kuntowijoyo

Bagi yang merindukan
Tuhan menyediakan
Kereta cahaya ke langit
Kata sudah membujuk
Bumi untuk menanti

Sudah disiapkan
Awan putih di bukit
Berikan tanda
Angin membawamu pergi
Dari pusat samudera

Tidak cepat atau lambat
Karena menit dan jam
Menggeletak di meja
Tangan gaib mengubah jarum-jarumnya
Berputar kembali ke-0

Waktu bagi salju
Membeku di rumputan
Selagi kaulakukan perjalanan.

Puisi Emha Ainun Najib berjudul Tahajud Cintaku


Tahajjud Cintaku

Karya Emha Ainun Najib

Maha anggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Maha agung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan

Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya tak diterima

Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara

Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya

Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang

Maha anggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan

Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya

Kumpulan Puisi Kahlil Gibran

              Kumpulan Puisi Kahlil Gibran
Selamat siang blogger,ada beberapa buah puisi karya pujangga besar dunia Kahlil Gibran saya share siang ini.Semoga saja ini menjadi hiburan buat hati yg lagi resah...yuuu simak baik baik...




Anak.
Dan seorang perempuan yg mengendong bayi dalam dekapan dadanya berkata.Bicaralah kepada kami perihal anak.
Dan dia berkata.Anak anakmu bukanlah anak anakmu.
Mereka adalah anak anak kehidupan yg rindu akan dirinya sendiri.Mereka dilahirkan melalui engkau tapi bukan dirimu.Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu.
Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu tapi bukan pikiranmu.karena mereka memiliki pemikiran sendiri.Engkau bisa merumahkan tubuh tubuh mereka,tapi bukan jiwa mereka..Karena jiwa jiwa itu tinggal dirumah hari esok,yg tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi.
Engkau bisa menjadi mereka,tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu.Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada dimasa lalu
Engkau adalah busur busur tempat anakmu menjadi anak anak panah yg hidup diluncurkan.Sang pemanah telah membidik kearah keabadian dan ia meregangkanmu dengan kekuatannya,sehingga anak anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh.Jadikanlah tarikan sang pemanah itu sebagai kegembiraan.




CINTA
Lalu berkatalah Almitra.Bicaralah pada kami perihal cinta.
Dan mengangkatkan kepalanya dan memandang kearah kumpulan manusia itu.Dan keheningan menguasai mereka.Dan dengan suara lantang dia berkata:
Pabila cinta menggamitmu,ikutlah ia,walaupun jalannya sukar dan curam.Pabila ia mengepakkan sayapnya.Engkau serahkanlah dirimu kepadanya,walaupun pedang yg terselip pada sayapnya akan melukai dirimu.
Pabila ia berkata kata percayalah padanya,walupun suaranya akan menghancurkan mimpimu,seperti angin utara yg memusnahkan taman taman,karena sekalipun cinta memahkotakanmu,ia juga akan mengorbankanmu.Walaupun ia menyuburkan dahan dahanmu,ia juga mematahkan ranting rantingmu.
Walaupun ia memanjat dahanmu yg tinggi dan mengusap ranting rantingmu yg gemetar dalam remang cahaya matahari,ia juga turun ke akar akarmu dan menguncangkan sari perut bumi.
Seperti seberkas jagung.ia akan mengumpulmu untuk dirinya,membantingmu sehingga engkau bogel.mengayakakanmu sehingga terpisah dari kulitmu.mengisarkanmu sehingga menjadi putih bersih.mengulimu agar kamu mudah dibentuk dan selepas itu membakarmu diatas bara api.Agar kamu menjadi sepotong roti yg diberkati.Untuk hidangan kenduri tuhanmu yg suci.


Wajah wajah.
Waktu tak pernah adil.
Kadang ia berikan waktu yg panjang untuk kesedihan.
Dan ia berikan waktu yg sangat pendek untuk merecap kebahagiaan.
Namun nikmat Nya yg manakah yg harus kudustai?...

Panjang pendek waktu harus kunikmati.
Sedih ku syukuri,bahagia kusyukuri.
karena hidup hanya sekali.


Ketika kusedih
kuingat mereka yg sedikitnya mengingatku.
Agar ingatan mereka tentangku tak kan pernah pudar.

Ketika kubahagia.
Kuingat mereka yg sedang sedih.
Agar aku datang dan menghibur mereka,
Atau menangis bersama.

Cinta...Rindu...Benci...Cemburu.
Sudah tak ingin kurasakan lagi.
Tak mungkin memulai kisah yg tak mungkin terjadi.

Hanya kasih yg kutebarkan,hanya kasih...

Maka kupejamkan mata dan mengingat wajah wajah..
Wajah wajah yg pernah mengenalku satu persatu.
Wajah wajah yg dengan mengingatnya kujadi bahagia
Dan salah satu wajah itu adalah KAU...






Musim dingin.
Dekatlah kemari,oh teman sepanjang hidupku
Dekatlah padaku,dan jangan biarkan sentuhan musim dingin mencelah diantara kita.
Duduklah disampingku didepan tungku.
Sebab nyalaan api adalah satu satunya nyawa musim ini.

Bicaralah padaku tentang kekayaan hatimu.
Yg  jauh lebih besar daripada unsur alam yg menggelodak diluar pintu
Palanglah pintu dan patri engselnya.
Sebab wajah angkasa menekan semangatku.dan pemandangan ladang ladang salju.
Menimbulkan tangis dalam jiwaku.

Tuangkan minyak kedalam lampu,jangan biarkan ia pudar,
Letakkan dekat wajahmu,supaya aku boleh membaca dalam tangis,
Apa yg telah ditulis pada wajahmu.
Tentang kehidupan kau bersamaku.

Berilah aku anggur musim gugur,dan mari minum bersama sambil
Mendendangkan lagu kenangan pada ghairah musim bunga dan layanan hangat musim panas,serta anugerah tuaian musim gugur.

Dekatlah padaku,oh kekasih jiwaku,api mendingin dalam tungku
Menyelinap padam nyalanya satu satu
Dari timbunan abu
Dekaplah aku,sebab aku ngeri akan kesepian
Lampu meredup,dan anggur minuman membuat mata sayu mengatup
Mari kita saling berpandangan sebelum mata tertutup.

Cari aku dalam rabaan,
Temui aku dalam pelukan
Lalu biarkan kabut malam merangkul jiwa kita menjadi satu

Kucuplah aku,kekasihku
Karena musim dingin telah merenggut segala
Kecuali bibir yg berkata:
Engkau dalam dekapan,oh kekasihku abadi
Betapa dalam dan kuat samudera lena
Dan betapa cepatnya subuh...

Batu Kelapa.
Dua muda bercermin cahaya
Sesaat terik melepas biasnya diperigi harap
Jengkal waktu merayap malas
Bertali dua perempuan paruh
Nafas luruh ditepi
Daun kaca;
Merayu sepasang batu kelap,terpukul nyata
Keajaiban bagai memikat beliung rasa dua muda itu
Dan gegas melambung paruh demi sepasang batu kelapa;
Memundak gersang terka

Tak lama batu kelapa menanak santannya ditempurung berekor bulu
Mengasah dua muda untuk menilik;

Adanya kisah batu dikelapa selepas gelap.

Puisi Entah Karya Endah Ayunda

ENTAH
Oleh Endah Ayunda
Ada sesak yang kian hari menguji sabarku
Ada setitik air jenuh yang sewaktu-waktu siap menerobos celah sempit dimata ku
Ada ganjalan besar yang kian hari tidak tau akan berkurang atau bertambah besar
Ada hati yang terbalut karena sesuatu yang tidak akan pernah sanggup untuk dijelaskan
Memang tidak mudah,
sangat tidak mudah,
Berdiri tegak, berjalan sempurna, berlari hebat
Hal yang menyakitkan bagi ku
Entah, selalu kata entah yang terlintas dalam semua bayang-bayang ini
entah apa yang aku rasa, entah apa yang terjadi dan entah apa yang menyebabkan semuanya begini
Terkadang memang sulit, hati yang menangis walau air mata terasa sudah habis
kaki yang harus tetap berjalan walau daya tak mampu menggerakan
Entah..
Apa yang ku rasakan
Entah..
apa lagi yang harus aku tuliskan
Terkadang sesuatu yang dianggap sulit akan berubah begitu cepat menjadi lebih mudah
Huufftt..
Akan ku syukuri apa yang tengah ku rasakan kemarin, kini dan nanti.
Untuk semua, untuk mereka dan untuk diri ku sendiri :)

Puisi surat cinta dari sangkakala

Surat Cinta Dari Sangkakala
Karya: Acep Syahril


Ya Allah
telah kami terima surat cintamu
tertanggal hari ini yang dikirim peniup
seruling sejati diantara kealfaan dan
keasyik masyukkan kami surat cinta yang
engkau tulis dengan tinta biru sebagai
tanda kasih dan maha sayangmu surat cinta
yang begitu panjang menegangkan yang engkau
tulis tak sampai dalam satu tarikan nafas
membuat kami terus menangis terisak tersedu
membaca gugusan kata-kata hancur berserak dengan
tubuh dan nyawa terlunta-lunta
Surat cinta yang bercerita tentang tanah darat
laut udara sebagai ungkapan rindumu yang membuat
kami malu kami tau inilah surat cintamu yang
telah engkau janjikan itu dan telah kami terima
saat mata hati dan perasaan kami menjauh fana
Ya Allah
inikah surat cintamu dengan segala
keputusan yang harus kami terima selain bencana
korupsi yang nyaris membuat kami hilang akal
dan putus asa surat cinta yang kertasnya
lembab di tangan kesedihan tak berkira dengan
torehan luka maha dalam
surat cinta yang bercerita tentang hujan dan panas
surat cinta yang bercerita tentang air berwajah
beringas dengan lidah api dari laut lepas surat
cinta yang bercerita tentang angkasa dan
burung-burung meranggas
surat cinta yang bercerita tentang pohon-pohon
dan akar yang dikelupas
surat cinta yang bercerita tentang tanah pasir
dan lendir panas
surat cinta yang bercerita tentang tanah
rumah dan nyawa yang hilang nafas
Ya Allah
inikah surat cintamu yang penuh cemburu itu
yang dikirim peniup seruling sejatimu
disaat kami lupa mengingat dan merayumu
surat cinta yang memang sepatutnya kami terima
sebagai bukti bahwa kau benar-benar maha
mencintai sementara kami berpaling dari kemaha
asih dan sayangmu
Ya Allah
maafkanlah kami yang telah berselingkuh dari
kemaha setiaanmu dan berpaling ke cinta yang
tak kau ridhoi dengan menabur fitnah hasut dan
saling ingin menguasai tanah sekerabat sedarah
seurat tanah yang kau ciptabentang tegakkan urat
yang kau sebarsuburkan dan darah yang kau
alirhidupkan telah kami
rusak dengan saling mencacah menumbuk
penuh takabur dengan kekuatan
kerakusan dan keserakahan
tapi kini apa yang kami cintai itu telah
engkau ratakan dengan tanah harta tahta
dan dunia berubah runta darah daging dan tulang
membusuk dimana-mana
Sekarang kami tak tau di mana ayah di mana
ibu di mana anak di mana adik di mana kakak
di mana ipar di mana keponakan di mana
saudara famili kerabat dan handai tauland
di mana di mana di mana yatim kan kami titipkan
Ya Allah
hari ini kami baru sadar akan jalan pulang
setelah membaca surat cintamu yang panjang
menegangkan surat cinta yang mengingatkan kami
untuk bertandang menemu cahya menemu gulita
menemu alfa menemu cinta
Surat cinta yang mengajarkan kami untuk
pulang ke bilik ke latifa ke bilik ke sadik
ke bilik baqa
ya Allah
ampunilah kami hamba-hambamu yang tak punya
malu ini ampunilah ampunilah ampunilah kami
ya Allah

Puisi Diatas sepotong hati.

Ini tubuhku sayang,dari tulang dan daging,
Yg bisa patah dan busuk.

Mengapa kau masih menatap baju itu?.
Hanya sebentar kupake.
Tak lama dan akan lapuk dirayapi waktu.
Ingatlah.
Itu hanya buat penampilan luar saja yg bisa menipu matamu.
Jangan terpukau rayunya sayang.

Indahnya pelangi di senja itu bukan karena warna nya.

Inilah jiwaku sayang.
Terdiri dari nafas dan nafsu.
Terbangun dari kun dan kullu.

Sudah laah....
Jangan terpukau kicau kenari.
Tapi rasakan siapa yg menyanyi.

30102016.balikpapan YE

Puisi Tuhanku

TUHANKU
Oleh Herawati Mansur

Tuhanku...
Aku bersujud kepadamu
untuk mendapat ridho darimu
Aku menyebut asmamu
untuk memujamu

Tuhanku...
Aku takkan pernah lelah
untuk selalu bersujud kepadamu
Aku takkan pernah letih
untuk selalu menyebut asmamu

Tuhanku...
Tuntunlah aku menuju jalanmu
Ridhoilah aku di setiap langkahku
Rahmatilah aku di setiap aktivitasku

Wahai tuhanku...
Jadikanlah tidurku sebagai ibadahku
Jadikanlah tangisku sebagai pengahapus dosaku
dan Jadikanlah aku bidadari syurgamu .

Puisi Patahnya sayap malaikat

PATAHNYA SAYAP MALAIKAT
Oleh Rahimatus Sania

Aku begitu sakit saat menatap langit
mengharap kamu jatuh untuk datang kepelukan ku
begitu egois nya kah aku?
mengharap seorang malaikat untuk mematahkan sayap nya?

Aku menunggu terus menunggu
berlinang air mata aku menatap mu
dari bawah sini wajah mu begitu memaku
meski aku mencoba untuk beranjak
mata ini masih terus melihat mu

Tidak ada kedamaian yang ku dapat
aku hanya bermimpi buruk
menunggu mu jatuh
aku membisu menahan nafas saat menyadari kamu masih disana

Kata selamat pagi tiada guna nya
karena kamu selalu disamping mentari
apa kamu mendengarkan harapan kosong ku ini?

Tidak bisakah kita jatuh bersama?

Bslas budi burung bangau


Dahulu kala di suatu tempat di Jepang, hidup seorang pemuda bernama Yosaku. Kerjanya mengambil kayu bakar di gunung dan menjualnya ke kota. Uang hasil penjualan dibelikannya makanan. Terus seperti itu setiap harinya.

Hingga pada suatu hari ketika ia berjalan pulang dari kota ia melihat sesuatu yang menggelepar di atas salju. Setelah di dekatinya ternyata seekor burung bangau yang terjerat diperangkap sedang meronta-ronta. Yosaku segera melepaskan perangkat itu.

Bangau itu sangat gembira, ia berputar-putar di atas kepala Yosaku beberapa kali sebelum terbang ke angkasa.
Karena cuaca yang sangat dingin, sesampainya dirumah, Yosaku segera menyalakan tungku api dan menyiapkan makan malam. Saat itu terdengar suara ketukan pintu di luar rumah.

Ketika pintu dibuka, tampak seorang gadis yang cantik sedang berdiri di depan pintu. Kepalanya dipenuhi dengan salju.

“Masuklah, nona pasti kedinginan, silahkan hangatkan badanmu dekat tungku, ujar Yosaku.
“Nona mau pergi kemana sebenarnya ?, Tanya Yosaku.
“Aku bermaksud mengunjungi temanku, tetapi karena salju turun dengan lebat, aku jadi tersesat.
“Bolehkah aku menginap disini malam ini ?.
“Boleh saja Nona, tapi aku ini orang miskin, tak punya kasur dan makanan. ,kata Yosaku.

“Tidak apa-apa, aku hanya ingin diperbolehkan menginap.
Kemudian gadis itu merapikan kamarnya dan memasak makanan yang enak.
Ketika terbangun keesokan harinya, gadis itu sudah
menyiapkan nasi. Yosaku berpikir bahwa gadis itu akan segera pergi, ia akan merasa kesepian.

Salju masih turun dengan lebatnya.
“Tinggallah disini sampai salju reda. kata Yosaku. Setelah lima hari berlalu salju mereda. Gadis itu berkata
kepada Yosaku, “Jadikan aku sebagai istrimu, dan biarkan aku tinggal terus di rumah ini. Yosaku merasa bahagia menerima permintaan itu.

“Mulai hari ini panggillah aku Otsuru, ujar si gadis. Setelah menjadi Istri Yosaku, Otsuru mengerjakan pekerjaan rumah dengan sungguh-sungguh. Suatu hari, Otsuru meminta suaminya, Yosaku, membelikannya benang karena ia ingin menenun.
Otsuru mulai menenun. Ia berpesan kepada suaminya agar jangan sekali-kali mengintip ke dalam penyekat tempat Otsuru menenun.

Setelah tiga hari berturut-turut menenun tanpa makan dan minum, Otsuru keluar. Kain tenunannya sudah selesai.
“Ini tenunan ayanishiki. Kalau dibawa ke kota pasti akan terjual dengan harga mahal.
Yosaku sangat senang karena kain tenunannya dibeli orang dengan harga yang cukup mahal. Sebelum pulang ia membeli bermacam-macam barang untuk dibawa pulang.

“Berkat kamu, aku mendapatkan uang sebanyak ini, terima kasih istriku. Tetapi sebenarnya para saudagar di kota menginginkan kain seperti itu lebih banyak lagi.
“Baiklah akan aku buatkan, ujar Otsuru. Kain itu selesai pada hari keempat setelah Otsuru menenun. Tetapi tampak Otsuru

tidak sehat, dan tubuhnya menjadi kurus. Otsuru meminta suaminya untuk tidak memintanya menenun lagi.
Di kota, Sang Saudagar minta dibuatkan kain satu lagi untuk Kimono tuan Putri. Jika tidak ada maka Yosaku akan dipenggal lehernya. Hal itu diceritakan Yosaku pada istrinya.

“Baiklah akan ku buatkan lagi, tetapi hanya satu helai ya, kata Otsuru.
Karena cemas dengan kondisi istrinya yang makin lemah dan kurus setiap habis menenun, Yosaku berkeinginan melihat ke dalam ruangan tenun.

Tetapi ia sangat terkejut ketika yang dilihatnya di dalam ruang menenun, ternyata seekor bangau sedang mencabuti bulunya untuk ditenun menjadi kain. Sehingga badan bangau itu hampir gundul kehabisan bulu.
Bangau itu akhirnya sadar dirinya sedang diperhatikan oleh Yosaku, bangau itu pun berubah wujud kembali menjadi Otsuru.

“Akhirnya kau melihatnya juga, ujar Otsuru. “Sebenarnya aku adalah seekor bangau yang dahulu
pernah Kau tolong, untuk membalas budi aku berubah wujud menjadi manusia dan melakukan hal ini, ujar Otsuru.
“Berarti sudah saatnya aku berpisah denganmu, lanjut
Otsuru.

“Maafkan aku, ku mohon jangan pergi, kata Yosaku.

Otsuru akhirnya berubah kembali menjadi seekor bangau. Kemudian ia segera mengepakkan sayapnya terbang keluar dari rumah ke angkasa.
Tinggallah Yosaku sendiri yang menyesali perbuatannya.

Kata kata hikmah Syekh Abil Hasan Assyadzily

Kata Hikmah dari Abul Hasan asy-Syadzili•

Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala' dan ni'mat yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya di dalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya dan bersyukur atas syukur yang mendalam.

Sedikit amal dengan mengakui dan mensyukuri karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasakurang beramal.

Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu'min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan :"Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT.

Pengelihatanakan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku,dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya " Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tiraiantara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya."Maka akupun memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji itu milik Allah.

Aku di pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): "Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkan keridhoan Allah ta'ala, danjangan duduk dimajelis kecuali majelis yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah."

Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ikhtiarsendiri.

Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk dapat selalu taat kepada Allah yang memiliki pemelihara dirimu.

Abu hasan Assyadzily

Kelahiran, Nasab dan Masa Kecil Syekh Abil Hasan Asy Syadzily

Asy Syekh al Imam al Quthub al Ghouts Sayyidina Asy Syarif Abul Hasan Ali asy Syadzily al Hasani bin Abdullah bin Abdul Jabbar, terlahir dari rahim sang ibu di sebuah desa bernama Ghomaroh, tidak jauh dari kota Saptah, negeri Maghrib al Aqsho atau Marokko, Afrika Utara bagian ujung paling barat, pada tahun 593 H / 1197 M. Beliau merupakan dzurriyat atau keturunan ke dua puluh dua dari junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, dengan urut-urutan sebagai berikut, asy Syekh Abil Hasan Ali asy Syadzily adalah putra dari :

1. Abdullah, bin

2. Abdul Jabbar, bin

3. Tamim, bin

4. Hurmuz, bin

5. Khotim, bin

6. Qushoyyi, bin

7. Yusuf, bin

8. Yusa’, bin

9. Wardi, bin

10. Abu Baththal, bin

11. Ali, bin

12. Ahmad, bin

13. Muhammad, bin

14. ‘Isa, bin

15. Idris al Mutsanna, bin

16. Umar, bin

17. Idris, bin

18. Abdullah, bin

19. Hasan al Mutsanna, bin

20. Sayyidina Hasan, bin

21. Sayyidina Ali bin Abu Thalib wa Sayyidatina Fathimah az Zahro’ binti

22. Sayyidina wa habibina wa syafi’ina Muhammadin, rosulillaahi shollolloohu ‘alaihi wa aalihi sallam.

Sejak kecil Beliau biasa dipanggil dengan nama: ‘ALI, sudah dikenal sebagai orang yang memiliki akhlaq atau budi pekerti yang amat mulia. Tutur katanya sangat fasih, halus, indah dan santun, serta mengandung makna pengertian yang dalam. Di samping memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur, Beliau juga tergolong orang yang memiliki kegemaran menuntut ilmu. Di desa tempat kelahirannya ini, Beliau mendapat tempaan pendidikan akhlaq serta cabang ilmu-ilmu agama lainnya langsung di bawah bimbingan ayah-bunda beliau. Beliau tinggal di desa tempat kelahirannya ini sampai usia 6 tahun, yang kemudian pada akhirnya hijrah ke kota Tunis (sekarang ibu kota negara Tunisia, Afrika Utara) yang semata-mata hanya untuk tujuan tholabul ‘ilmi di samping untuk menggapai cita-cita luhur Beliau menjadi orang yang memiliki kedekatan dan derajat kemuliaan di sisi Allah SWT.

Beliau sampai di kota Tunis, sebuah kota pelabuhan yang terletak di tepi pantai Laut Tengah, pada tahun 599 H / 1202 M. Di suatu hari Jumat, Beliau pernah ditemui oleh Nabiyyullah Khidlir ‘alaihissalam, yang mengatakan bahwa kedatangannya pada saat itu adalah diutus untuk menyampaikan keputusan Allah SWT atas diri Beliau yang pada hari itu telah dinyatakan dipilih menjadi kekasih Robbul ‘Alamin dan sekaligus diangkat sebagai Wali Agung dikarenakan Beliau memiliki budi luhur dan akhlaq mulia.

Segera setelah pertemuan dengan Nabiyyullah Khidir a.s. tersebut, Beliau segera menghadap Syekh Abi Said al Baji, rokhimahullah, salah seorang ulama besar di Tunis pada waktu itu, dengan maksud untuk mengemukakan segala peristiwa yang Beliau alami sepanjang hari itu. Akan tetapi pada saat sudah berada di hadapan Syekh Abi Said, sebelum Beliau mengungkapkan apa yang menjadi maksud dan tujuannya menghadap, ternyata Syekh Abi Said al Baji sudah terlebih dahulu dengan jelas dan runtut menguraikan tentang seluruh perjalanan Beliau sejak keberangkatannya dari rumah sampai diangkat dan ditetapkannya Beliau sebagai Wali Agung pada hari itu. Sejak saat itu Beliau tinggal bersama Syekh Abi Said sampai beberapa tahun guna menimba berbagai cabang ilmu agama. Dari Syekh Abi Said Beliau banyak belajar ilmu-ilmu tentang Al Qur’an, hadits, fiqih, akhlaq, tauhid, beserta ilmu-ilmu alat. Selain itu, karena kedekatan Beliau dengan sang guru, Beliau juga berkesempatan mendampingi Syekh Abi Said menunaikan ibadah haji ke Mekkah al Mukarromah sampai beberapa kali. Namun, setelah sekian tahun menuntut ilmu, Beliau merasa bahwa seluruh ilmu yang dimilikinya, mulai dari ilmu fiqih, tasawwuf, taukhid, sampai ilmu-ilmu tentang al Qur’an dan hadist, semuanya itu Beliau rasakan masih pada tataran syariat atau kulitnya saja. Karena itu Beliau berketetapan hati untuk segera menemukan jalan (thoriqot) itu sekaligus pembimbing (mursyid)-nya dari seorang Wali Quthub yang memiliki kewenangan untuk memandu perjalanan ruhaniyah Beliau menuju ke hadirat Allah SWT ? Maka dengan tekad yang kuat Beliau memberanikan diri untuk berpamitan sekaligus memohon doa restu kepada sang guru, syekh Abi Said al Baji, untuk pergi merantau demi mencari seseorang yang berkedudukan sebagai Quthub.
Perantauan Mencari Sang Quthub

Tempat pertama yang dituju oleh Beliau adalah kota Mekkah yang merupakan pusat peradaban Islam dan tempat berhimpunnya para ulama dan sholihin yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia untuk memperdalam berbagai cabang ilmu-ilmu agama. Namun setelah berbulan-bulan tinggal di Mekkah, Beliau belum juga berhasil menemukan orang yang dimaksud. Sampai akhirnya pada suatu seat Beliau memperoleh keterangan dari beberapa ulama di Mekkah bahwa Sang Quthub yang Beliau cari itu kemungkinan ada di negeri Iraq yang berjarak ratusan kilo meter dari kota Mekkah.

Sesampainya di Iraq, dengan tidak membuang-buang waktu, segeralah Beliau bertanya ke sana-sini tentang seorang Wali Quthub yang Beliau cari kepada setiap ulama dan masyayikh yang berhasil Beliau temui. Akan tetapi, mereka semua rata-rata menyatakan tidak mengetahui keberadaan seorang Wali Quthub di negeri itu.

Memang sepeninggal Sulthonil Auliya’il Quthbir Robbani wal Ghoutsish Shomadani Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Abdul Qodir al Jilani, rodliyallahu ‘anh, kedudukan Wali Quthub yang menggantikan Syekh Abdul Qodir Jilani oleh Allah disamarkan atau tidak dinampakkan dengan jelas. Pada waktu kedatangan Syekh Abil Hasan ke Baghdad itu, Syekh Abdul Qodir Jailani (470 – 561 H./1077 – 1166 M.) sudah wafat sekitar 50 tahun sebelumnya (selisih waktu antara wafatnya Syekh Abdul Qodir dan lahirnya Syekh Abil Hasan terpaut sekitar 32 tahun). Di kala hidupnya, asy Syekh. Abdul Qodir diakui oleh para ulama minash Shiddiqin sebagai seorang yang berkedudukan “Quthbul Ghouts”.

Akhirnya, Beliau mendengar adanya seorang ulama yang merupakan seorang pemimpin dan khalifah thoriqot Rifa’iyah yaitu asy Syekh ash Sholih Abul Fatah al Wasithi, rodliyAllahu ‘anh. Syekh Abul Fatah adalah, yang memiliki pengaruh dan pengikut cukup besar di Iraq pada waktu itu. Segeralah Beliau sowan kepada Syekh Abul Fatah dan mengemukakan bahwa Beliau sedang mencari seorang Wali Quthub yang akan Beliau minta kesediaannya untuk menjadi pembimbing dan pemandu perjalanan ruhani Beliau menuju ke hadirat Allah SWT.

Mendengar penuturan beliau, asy Syekh Abul Fatah sembari tersenyum kemudian mengatakan, “Wahai anak muda, engkau mencari Quthub jauh jauh sampai ke sini, padahal orang yang engkau cari sebenarnya berada di negeri asalmu sendiri. Beliau adalah seorang Quthubuz Zaman nan Agung pada saat ini. Sekarang pulanglah engkau ke Maghrib (Maroko) dari pada bersusah payah berkeliling mencari di negeri ini. Beliau, pada saat ini sedang berada di tempat khalwatnya, di sebuah gua di puncak gunung. Temuilah yang engkau cari di sana!”
Berguru Kepada Sang Quthub

Beberapa saat setelah mendapat penjelasan dari Syekh Abul Fatah al Wasithi, Beliau segera mohon diri sekaligus minta doa restu agar Beliau bisa segera berhasil menemukan sang Quthub yang sedang dicarinya. Sesampainya di Maroko, Beliau langsung menuju ke desa Ghomaroh, tempat di mana Beliau dilahirkan. Tidak berapa lama kemudian, Beliau segera bertanya-tanya kepada penduduk setempat maupun setiap pendatang di manakah tinggalnya sang Quthub. Hampir setiap orang yang Beliau temui selalu ditanyai tentang keberadaan sang Quthub. Akhirnya setelah cukup lama mencari didapatlah keterangan bahwa orang yang dimaksud oleh Syekh Abul Fatah tiada lain adalah Sayyidisy Syekh ash Sholih al Quthub al Ghouts asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, yang pada saat itu sedang berada di tempat pertapaannya, di suatu gua yang letaknya di puncak sebuah gunung di padang Barbathoh. Demi mendengar keterangan itu, sama seperti yang dijelaskan oleh Syekh Abul Fatah al Wasithi al Iraqi, segera saja Beliau menuju ke tempat yang ditunjukkan itu.

Setelah melakukan perjalanan yang memakan waktu beberapa hari, akhirnya ditemukanlah gunung yang dimaksud. Beliau segera mendaki gunung itu menuju ke puncaknya. Dan, memang benar adanya, di puncak gunung tersebut terdapat sebuah gua. Sebelum Beliau melanjutkan perjalanannya untuk naik ke gua itu, Beliau berhenti di sebuah mata air yang terdapat di bawah gua tersebut. Selanjutnya Beliau lalu mandi di pancuran mata air itu. Hal ini Beliau lakukan semata-mata demi untuk memberikan penghormatan serta untuk mengagungkan sang Quthub, sebagai salah seorang yang memiliki derajat kcmuliaan dan keagungan di sisi Robbul ‘alamin, disamping juga sebagai seorang calon guru Beliau. Begitu setelah selesai mandi, Beliau merasakan betapa seluruh ilmu dan amal Beliau seakan luruh berguguran. Dan seketika itu pula Beliau merasakan kini dirinya telah menjadi seorang yang benar-benar faqir dari ilmu dan amal. Kemudian, setelah itu Beliau lalu berwudlu dan mempersiapkan diri untuk naik menuju ke gua tersebut. Dengan penuh rasa tawadhu’ dan rendah diri, Beliau mulai mengangkat kaki untuk keluar dari mata air itu.

Namun, entah datang dari arah mana, tiba-tiba datang seseorang yang tampak sudah lanjut usia. Orang tersebut mengenakan pakaian yang amat sederhana. Bajunya penuh dengan tambalan. Sebagai penutup kepala, orang sepuh itu mengenakan songkok yang terbuat dari anyaman jerami. Dari sinar wajahnya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki derajat kesholihan dan ketaqwaan yang amat luhur. Kendati berpenampilan sederhana, tetapi orang tersebut tampak sangat anggun, arif, dan berwibawa. Kakek tua itu kemudian mendekati Beliau seraya mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum”. Beliau, dengan agak sedikit terkejut, serta merta menjawab salam orang itu, “Wa ‘alaikumus salam wa rokhmatullohi wa barokatuh.” Belum pula habis rasa keterkejutan beliau, orang tersebut terlebih dahulu menyapa dengan mengatakan, “Marhaban! Ya, Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin….” dan seterusnya nasab Beliau disebutkan dengan runtut dan jelas sampai akhirnya berujung kepada baginda Rosululloh, shollollohu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Mendengar itu semua, Beliau menyimaknya dengan penuh rasa takjub. Belum sampai Beliau mengeluarkan kata-kata, orang tersebut kemudian melanjutkan, “Ya Ali, engkau datang kepadaku sebagai seorang faqir, baik dari ilmu maupun amal perbuatanmu, maka engkau akan mengambil dari aku kekayaan dunia dan akhirat.” Dengan demikian, maka jadi jelas dan yakinlah Beliau kini, bahwa orang yang sedang berada di hadapannya itu adalah benar-benar asy Syekh al Quthub al Ghouts Sayyid Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, rodhiyAllahu ‘anh, orang yang selama ini dicari-carinya. “Wahai anakku, hanya puji syukur alhamdulillah kita haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah mempertemukan kita pada hari ini.” Berkata Syekh Abdus Salam lagi, “Ketahuilah, wahai anakku, bahwa sesungguhnya sebelum engkau datang ke sini, Rosululloh SAW telah memberitahukan kepadaku segala hal-ihwal tentang diri¬mu, serta akan kedatanganmu pada hari ini. Selain itu, aku juga mendapat tugas dari Beliau agar memberikan pendidikan dan bimbingan kepada engkau. Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa kedatanganku ke sini memang sengaja untuk menyambutmu”.

Selanjutnya, Beliau tinggal bersama dengan sang guru di situ sampai waktu yang cukup lama. Beliau banyak sekali mereguk ilmu-ilmu tentang hakikat ketuhanan dari Syekh Abdus Salam, yang selama ini belum pernah Beliau dapatkan. Tidak sedikit pula wejangan dan nasihat-nasihat yang asy Syekh berikan kepada beliau.

Pada suatu hari dikatakan oleh asy Syekh kepada beliau, “Wahai anakku, hendaknya engkau semua senantiasa melanggengkan thoharoh (mensucikan diri) dari syirik. Maka, setiap engkau berhadats cepat-cepatlah bersuci dari ‘kenajisan cinta dunia’. Dan setiap kali engkau condong kepada syahwat, maka perbaikilah apa yang hampir menodai dan menggelincirkan dirimu.”

Berkata asy Syekh Ibn Masyisy kepada beliau, “Pertajam pengelihatan imanmu, niscaya engkau akan mendapatkan Allah; Dalam segala sesuatu; Pada sisi segala sesuatu; Bersama segala sesuatu; Atas segala sesuatu; Dekat dari segala sesuatu; Meliputi segala sesuatu; Dengan pendekatan itulah sifatNya; Dengan meliputi itulah bentuk keadaanNya.”

Di lain waktu guru beliau, rodhiyallahu ‘anh, itu mengatakan, “Semulia-mulia amal adalah empat disusul empat : KECINTAAN demi untuk Allah; RIDHO atas ketentuan Allah; ZUHUD terhadap dunia; dan TAWAKKAL atas Allah.

Kemudian disusul pula dengan empat lagi, yakni MENEGAKKAN fardhu-fardhu Allah; MENJAUHI larangan-laranganAllah; BERSABAR terhadap apa-apa yang tidak berarti; dan

WARO’ menjauhi dosa-dosa kecil berupa segala sesuatu yang melalaikan”.

Asy Syeih juga pernah berpesan kepada. beliau, “Wahai anakku, janganlah engkau melangkahkan kaki kecuali untuk Allah, sesuatu yang dapat mendatangkan keridhoan Allah, dan jangan pula engkau duduk di suatu majelis kecuali yang aman dari murka Allah. Janganlah engkau bersahabat kecuali dengan orang yang bisa membantu engkau berlaku taat kepada-Nya. Serta jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang bisa menambah keyakinanmu terhadap Allah”.

Asy Syekh Abdus Salam sendiri adalah merupakan pribadi yang amat berpegang teguh kepada Kitab Allah dan as Sunnah. Walaupun pada kenyataannya Syekh Abil Hasan adalah muridnya, namun Syekh Abdus Salam juga amat mengagumi akan ilmu yang dimiliki oleh sang murid, terutama tentang Kitabullah dan Sunnah, disamping derajat kesholihan dan kewaliannya, serta kekeramatan Syekh Abul Hasan.

Tetapi, dari semua yang Beliau terima dari asy Syekh, hal yang terpenting dan paling bersejarah dalam kehidupan Beliau di kemudian hari ialah diterimanya ijazah dan bai’at sebuah thoriqot dari asy Syekh Abdus Salam yang rantai silsilah thoriqot tersebut sambung-menyambung tiada putus sampai akhirnya berujung kepada Allah SWT. Silsilah thoriqot ini urut-urutannya adalah sebagai berikut :

Beliau, asy Syekh al Imam Abil Hasan Ali asy Syadzily menerima bai’at thoriqot dari :

1. Asy Syekh al Quthub asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy, Beliau menerima talgin dan bai’at dari

2. Al Quthub asy Syarif Abdurrahman al Aththor az Zayyat al Hasani al Madani, dari

3. Quthbil auliya’ Taqiyyuddin al Fuqoyr ash Shufy, dari

4. Sayyidisy Syekh al Quthub Fakhruddin, dari

5. Sayyidisy Syekh al Quthub NuruddinAbil HasanAli, dari

6. Sayyidisy Syekh Muhammad Tajuddin, dari

7. Sayyidisy Syekh Muhammad Syamsuddin, dari

8. Sayyidisy Syekh al Quthub Zainuddin al Qozwiniy, dari

9. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Ishaq Ibrohim al Bashri, dari

10. Sayyidisy Syekh al Quthub Abil Qosim Ahmad al Marwani, dari

11. Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Said, dari

12. Sayyidisy Syekh Sa’ad, dari

13. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Fatkhus Su’udi, dari

14. Sayyidisy Syekh al Quthub Muhammad Said al Ghozwaniy, dari

15. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Jabir, dari

16. Sayyidinasy Syarif al Hasan bin Ali, dari

17. Sayyidina’Ali bin Abi Tholib, karromallahu wajhah, dari

18. Sayyidina wa Habibina wa Syafi’ina wa Maulana Muhammadin, shollollohu ‘alaihi wa aalihi wasallam, dari

19. Sayyidina Jibril, ‘alaihis salam, dari

20. Robbul ‘izzati robbul ‘alamin.

Setelah menerima ajaran dan baiat thoriqot ini, dari hari ke hari Beliau merasakan semakin terbukanya mata hati beliau. Beliau banyak menemukan rahasia-rahasia Ilahiyah yang selama ini belum pernah dialaminya. Sejak saat itu pula Beliau semakin merasakan dirinya kian dalam menyelam ke dasar samudera hakekat dan ma’rifatulloh. Hal ini, selain berkat dari keagungan ajaran thoriqot itu sendiri, juga tentunya karena kemuliaan barokah yang terpancar dari ketaqwaan sang guru, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, rodhiyAllahu ‘anh.

Thoriqot ini pula, di kemudian hari, yaitu pada waktu Beliau kelak bermukim di negeri Tunisia dan Mesir, Beliau kembangkan dan sebar luaskan ke seluruh penjuru dunia melalui murid-murid beliau. Oleh karena Beliau adalah orang yang pertama kali mendakwahkan dan mengembangkan ajaran thoriqot ini secara luas kepada masyarakat umum, sehingga akhirnya masyhur di mana-mana, maka Beliau pun kemudian dianggap sebagai pendiri thoriqot ini yang pada akhirnya menisbatkan nama thoriqot ini dengan nama besar beliau, dengan sebutan “THORIQOT SYADZILIYAH”. Banyak para ulama dan pembesar-pembesar agama di seluruh dunia, dari saat itu sampai sekarang, yang mengambil berkah dari mengamalkan thoriqot ini. Sebuah thoriqot yang amat sederhana, tidak terlalu membebani bagi khalifah dan para guru mursyidnya serta para pengamalnya.

Setelah cukup lama Beliau tinggal bersama asy Syekh, maka tibalah saat perpisahan antara guru dan murid. Pada saat perpisahan itu Syekh Abdus Salam membuat pemetaan kehidupan murid tercinta Beliau tentang hari-hari yang akan dilalui oleh Syekh Abil Hasan dengan mengatakan, “Wahai anakku, setelah usai masa berguru, maka tibalah saatnya kini engkau untuk beriqomah. Sekarang pergilah dari sini, lalu carilah sebuah daerah yang bernama SYADZILAH. Untuk beberapa waktu tinggallah engkau di sana. Kemudian perlu kau ketahui, di sana pula Allah ‘Azza wa Jalla akan menganugerahi engkau dengan sebuah nama yang indah, asy Syadzily.”

“Setelah itu,” lanjut asy Syekh, “Kemudian engkau akan pindah ke negeri Tunisia. Di sana engkau akan mengalami suatu musibah dan ujian yang datangnya dari penguasa negeri itu. Sesudah itu, wahai anakku, engkau akan pindah ke arah timur. Di sana pulalah kelak engkau akan menerima warisan al Quthubah dan menj adikan engkau seorang Quthub.”

Pada waktu akan berpisah, Beliau mengajukan satu permohonan kepada asy Syekh agar memberikan wasiat untuk yang terakhir kalinya, dengan mengatakan, “Wahai Tuan Guru yang mulia, berwasiatlah untukku.” Asy Syekh pun kemudian berkata, “Wahai Ali, takutlah kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap manusia. Sucikanlah lisanmu daripada menyebut akan keburukan mereka, serta sucikanlah hatimu dari kecondongan terhadap mereka. Peliharalah anggota badanmu (dari segala yang maksiat, pen.) dan tunaikanlah setiap yang difardhukan dengan sempurna. Dengan begitu, maka sempurnalah Allah mengasihani dirimu.”

Lanjut asy Syekh lagi, “Jangan engkau memperingatkan kepada mereka, tetapi utamakanlah kewajiban yang menjadi hak Allah atas dirimu, maka dengan cara yang demikian akan sempurnalah waro’mu.” “Dan berdoalah wahai anakku, ‘Ya Allah, rahmatilahlah diriku dari ingatan kepada mereka dan dari segala masalah yang datang dari mereka, dan selamatkanlah daku dari kejahatan mereka, dan cukupkanlah daku dengan kebaikan-kebaikanMu dan bukan dari kebaikan mereka, dan kasihilah diriku dengan beberapa kelebihan dari antara mereka. Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah atas segala sesuatu Dzat Yang Maha Berkuasa.”‘

Selanjutnya, setelah perpisahan itu, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy yang dilahirkan di kota Fes, Maroko, tetap tinggal di negeri kelahirannya itu sampai akhir hayat beliau. Sang Quthub nan agung ini meninggal dunia pada tahun 622 H./1225 M. Makam Beliau sampai saat ini ramai diziarahi kaum muslimin yang datang dari seluruh penjuru dunia.
Di Syadzilah

Seusai berpisah dengan asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, Beliau mulai menapaki perjalanan yang pertama sebagai apa yang telah dipetakan oleh sang guru, yaitu mencari sebuah desa bernama Syadzilah. Setelah dicari-cari, akhirnya sampailah Beliau di sebuah desa bernama Syadzilah yang terletak di wilayah negeri Tunisia. Pada saat Beliau tiba di desa itu, yang mengherankan, Beliau sudah disambut dan dielu-elukan oleh segenap penduduk Sya¬dzilah, sedang Beliau sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang memberitakan akan kedatangan beliau. Tapi, itu sebuah kenya¬taan bahwa mereka dalam memberikan sambutan kepada Beliau tampak sekali terlihat dari raut wajah mereka suatu kegembiraan yang amat dalam, seakan mereka bisa bertemu dengan orang yang sudah lama dinanti-nantikan.

Beliau tinggal di tengah-tengah desa Syadzilah hanya beberapa hari saja. Karena, sejak tiba di kota itu, Beliau telah memutuskan untuk tidak berlama-lama berada di tengah keramaian masyarakat. Beliau ingin bermukim di tempat yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuknya orang-orang. Memang, tujuan Beliau datang ke kota itu, sesuai dengan petunjuk sang guru, semata-mata hanyalah untuk lebih meningkatkan dan menyempurnakan ibadah Beliau dengan cara menjauh dari masyarakat.

Akhirnya, Beliau memilih tempat di luar kota Syadzilah, yaitu di sebuah bukit yang bernama Zaghwan. Maka, berangkatlah Beliau ke bukit itu dengan diiringi oleh sahabat Beliau bernama Abu Muhammad Abdullah bin Salamah al Habibie. Dia adalah seorang pemuda penduduk asli Syadzilah yang memiliki ketaqwaan dan telah terbuka mata hatinya (mukasyafah).

Di bukit itu, Beliau melakukan laiihan-latihan ruhani dengan menerapkan disiplin diri yang tinggi. Setiap jengkal waktu, Beliau gunakan untuk menempa ruhani dengan melakukan riyadhoh, mujahadah dan menjalankan wirid-wirid sebagaimana yang telah diajarkan oleh guru beliau, asy Syekh Abdus Salam. Di bukit itu, Beliau melakukan uzlah dan suluk dengan cara menggladi nafsu sehingga benar-benar menjadi pribadi yang cemerlang dan istiqomah yang diliputi dengan rasa khidmah dan mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya.

Untuk kehidupannya, Beliau bersama sahabat setianya, al Habibie, hanya mengambil tumbuhan yang ada di sekitar bukit Zaghwan itu saja. Tetapi, sejak Beliau bermukim di bukit itu, Allah SWT telah mengaruniakan sebuah mata air untuk meme¬nuhi keperluan beliau.

Pernah, pada suatu hari, Beliau menyaksikan gusi al Habibie terluka hingga mengeluarkan darah lantaran terkena ranting dari dedaunan yang dimakannya. Melihat hal itu, Leliau menjadi terharu karena sahabat yang setia mengiringinya harus mengalami kesakitan. Segera saja, setelah itu, Beliau mengajak al Habibie turun ke desa Syadzilah untuk mencari makanan yang lunak. Dan sekiranya telah tercukupi, maka Beliau berdua segera naik kembali ke bukit Zaghwan untuk meneruskan “perjalanan”. Memang, semenjak beruzlah di bukit itu, kadang-kadang Beliau berdua turun ke desa Syadzilah untuk berbagai keperluan.

Berkaitan dengan pengalaman keruhanian, diceritakan oleh al Habibie, bahwa pada suatu ketika dia pernah melihat dalam pandangan mata batinnya, nampak segerombolan malaikat, ‘alaihimus sholatu was salam, mengerumuni asy Syekh. Bahkan, lanjut al Habibie, “Sebagian dari malaikat itu ada yang berjalan beriringan bersamaku dan ada pula yang bercakap-cakap dengan aku.” Tidak jarang pula dilihat oleh al Habibie arwah para waliyulloh yang secara berkelompok maupun sendiri-sendiri, mendatangi dan mengerubuti asy Syekh. Para wali-wali itu, rohimahumulloh, dikatakan oleh al Habibie, merasakan memperoleh berkah lantaran kedekatan dan kebersamaan mereka dengan asy Syekh.

Sehubungan dengan nama desa Syadzilah, yang akhirnya bertautan dengan nama beliau, diceritakan oleh beliau, bahwa Beliau pada suatu ketika dalam fana’nya, pernah mengemukakan sebuah pertanyaan kepada Allah SWT, “Ya Robb, mengapa nama Syadzilah Engkau kaitkan dengan namaku ?” Maka, dikatakan kepadaku, “Ya Ali, Aku tidak menamakan engkau dengan nama asy Syadzily, tetapi asy Syaadz-ly (penekanan kata pada “dz”) yang artinya jarang (langka), yaitu karena keistimewaanmu dalam menyatu untuk berkhidmat demi untuk¬Ku dan demi cinta kepada-Ku.”

Beliau tinggal di bukit Zaghwan itu sampai bertahun-tahun, sampai pada suatu hari, Beliau mendapatkan perintah dari Allah SWT agar turun dari bukit dan keluar dari tempat khalwatnya untuk segera mendatangi masyarakat.

Diceritakan oleh beliau, begini, “Pada waktu itu telah dikatakan kepadaku, ‘Hai Ali, turun dan datangilah manusia-manusia, agar mereka memperoleh manfaat dari padamu !’ Lalu, akupun mengatakan, ‘Ya Allah, selamatkanlah diriku dari manusia banyak, karena aku tidak berkemampuan untuk bergaul dengan mereka’. Lalu dikatakan kepadaku, ‘Turunlah, wahai Ali ! Aku akan mendampingimu dengan keselamatan dan akan Aku singkirkan engkau dari marabahaya’. Aku katakan pula, ‘Ya Allah, Engkau serahkan diriku kepada manusia-manusia, termasuk apa yang aku makan dan harta yang aku pakai ?’ Maka, dikatakan kepadaku, ‘Hendaklah engkau menafkahkan dan Aku-lah yang mengisi, pilihlah dari jurusan tunai ataukah jurusan ghaib.”‘

Setelah selesai menjalani seperti apa yang telah dipetakan oleh asy Syekh Abdus Salam dan setelah mendapat perintah untuk keluar dari tempat uzlahnya guna mendatangi masyarakat, maka Beliau segera melanjutkan perjalanannya sesuai dengan pemetaan berikutnya, yaitu menuju ke kota Tunis.
Di Tunis

Bagi beliau, kota Tunis tentu sudah tidak asing lagi. Karena sejak usia anak-anak hingga remaja Beliau bemukim di kota ini sampai bertahun-tahun. Namun, seperti apa yang Beliau saksikan pada saat kedatangan Beliau kali ini, ternyata negeri ini tidak mengalami banyak perubahan dan kemajuan. Masih tetap seperti dulu. Penduduk negeri ini tetap miskin dan sering dilanda kelaparan. Namun demikian, sejak kedatangannya, Beliau juga masih tetap berusaha untuk meringankan penderitaan penduduk dalam menghadapi kelaparan. Alkisah, dalam usaha Beliau memberikan pertolongan kepada mereka, Beliau sering didatangi nabiyulloh Khidlir, ‘alaihissalam, guna membantu Beliau sekaligus untuk menyelamatkan Beliau dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Hal ini terjadi karena berkat kebesaran jiwa dan kesantunan beliau.

Pada saat itu, negeri Tunisia berada di bawah kekuasaan pemerintahan seorang sultan atau raja yang bernama Sultan Abu Zakariyya al Hafsi. Dalam pemerintahan Sultan Abu Zakariyya, di antara jajaran para menterinya ada seorang kadi (hakim agama) yang bernama Ibnul Baro’. Dia adalah seorang faqih, namun di sisi lain dia juga memiliki hati yang buruk. Keserakahan untuk memiliki kedudukan, pengaruh, dan kekuasaan itulah yang membuat nafsu iri dengkinya tumbuh subur di dalam hati Ibnul Baro’. Dendam kesumat dan keinginan menjatuhkan orang lain pun semakin membara dalam dadanya. Pikiran dan hatinya siang malam hanya tertuju bagaimana cara mempertahankan dan memperkuat pengaruh dan jabatannya.

Asy Syekh Abil Hasan datang ke Tunis selain untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh guru beliau, juga karena memang mendapat perintah untuk berdakwah. Setelah beberapa bulan Beliau melakukan dakwah di kota Tunis itu, maka kelihatanlah semakin banyak orang-orang berkerumun mendatangi beliau. Selain masyarakat kebanyakan yang hadir dalam majelis-majelis pengajiannya, juga tidak sedikit orang-orang alim, sholih dan ahli karomah yang turut serta mendengarkan dan menyimak nasehat-nasehat beliau. Di antara mereka tampak, antara lain: asy Syekh Abul Hasan Ali bin Makhluf asy Syadzily, Abu Abdullah ash Shobuni, Abu Muhammad Abdul Aziz az Zaituni, Abu Abdullah al Bajja’i al Khayyath, dan Abu Abdullah al Jarihi. Mereka semua merasakan kesejukan siraman rohani yang luar biasa yang keluar dari kecemerlangan hati dan lisan nan suci asy Syekh. Padahal, pada waktu itu Beliau masih berumur sekitar 25 tahun.

Fenomena tersebut ditangkap oleh Ibnul Baro’ sebagai sebuah pemandangan yang amat tidak mengenakkan perasaannya. Keberadaan asy Syekh di kota Tunis ini dianggap sebagai kerikil yang mengganggu bagi dirinya. Setiap berita yang berkaitan dengan asy Syekh ditangkap oleh telinga Ibnul Baro’ lalu menyusup masuk ke relung hatinya yang telah terbakar bara kebencian dan rasa iri dengki yang mendalam.

Demi melihat kenyataan masyarakat semakin condong dan berebut mengerumuni asy Syekh, seketika itu pula pudarlah khayalan-khayalan Ibnul Baro’. Timbul prasangka buruk bahwa Syekh Abil Hasan telah merampas haknya, bahkan besar kemungkinan kalau pada akhirnya nanti akan menumbangkan kedudukannya serta mengambil alih jabatan yang amat dicintainya itu. Oleh karena itu, dengan menepuk dada disertai sikap angkuhnya Ibnul Baro’ mengumumkan pernyataan secara terang-terangan, bahwa dia telah memaklumkan “perang” melawan asy Syekh Abil Hasan Ali asy Syadzily, rodhiyallahu ‘anh.

Namun demikian meski bertahun-tahun mengalami serangan dan fitnahan dari orang yang dengki kepada Beliau, tetapi yang namanya intan adalah tetap intan. Beliau adalah seorang kekasih Allah yang memiliki derajat kemuliaan yang tinggi. Dan apabila seorang kekasih-Nya dianiaya oleh orang lain, maka Allah sendirilah yang akan membalasnya. Itulah yang terjadi, sehingga akhirnya seluruh negeri mengetahui kemulian asy Syekh Abil Hasan Syadzily, rodhiyallahu ‘anh.

Setelah itu, terbetik dalam hati asy Syekh untuk kembali menunaikan ibadah haji. Beliau lalu menyerukan kepada para murid dan pengikutnya agar mereka, untuk sementara waktu, hijrah atau berpindah ke negeri sebelah timur, sambil menunggu datangnya musim haji yang pada waktu itu masih kurang beberapa bulan lagi. Maka, segera bersiap-siaplah Beliau dengan para pengikutnya untuk melakukan perj alanan jauh menuju ke negeri Mesir.

Dalam perjalan ke Mesir tersebut masih tidak lepas dari rekayasa fitnah Ibnul Baro’ sehingga Sultan mempermasalahkan kehadiran Beliau di negeri Mesir. Tetapi Allah tetap memberikan perlindungan-Nya, menujukkan bahwa asy Syekh adalah kekasihnya dan dengan kebesaran hati dan kehalusan budi pekerti beliaulah, akhirnya Beliau bersedia memaafkan dan mendoakan Sultan hingga mereka semua menganggap pertemuan mereka dengan asy Syekh adalah merupakan anugerah Tuhan yang tiada terkira bagi mereka.

Namun, sebagaimana yang telah direncanakan, asy Syekh tinggal di Mesir hanya untuk beberapa bulan saja, sampai datangnya waktu musim haji. Setelah tiba pada saatnya asy Syekh pun mohon diri kepada Sultan untuk melanjutkan perjalanan menuju ke tanah suci Mekkah. Ringkas cerita, di sana Beliau mengerjakan ibadah haji sampai secukupnya, lalu Beliau melanjutkan perjalanan ke tanah suci Madinah guna untuk berziarah ke makam Rasulullah SAW. Setelah semuanya itu selesai, maka kembalilah Beliau beserta rombongan ke negeri Tunisia.

Sewaktu asy Syekh kembali dari tanah suci, Sultan Abu Zakariyya al Hafsi beserta penduduk Tunis tampak bersukacita menyambut kedatangan beliau. Rasa gembira sulit mereka sembunyikan, karena asy Syekh yang mereka cintai dan mereka hormati kini telah kembali berkumpul bersama mereka lagi. Namun, suasana gembira ini tidak berlaku bagi Ibnul Baro’. Bagi dia, kembalinya asy Syekh berarti merupakan sebuah “malapetaka” dan pertanda dimulainya lagi sebuah “pertempuran”. Tetap seperti dulu. Dengan berbagai cara dia selalu berusaha agar asy Syekh, yang merupakan musuh bebuyutannya itu, secepatnya lenyap dari muka bumi ini. Namun, alhamdulillah, semua upaya jahat itu selalu menemui kegagalan.

Kemudian, setelah beberapa hari sejak kedatangan dari tanah suci, asy Syekh lalu melanjutkan tugasnya untuk mengajar dan berdakwah. Zawiyah atau pondok pesulukan, sebagai bengkel rohani yang Beliau dirikan juga kian diminati para ‘pejalan’. Dalam catatan sejarah, zawiyah pertama yang asy Syekh dirikan di Tunisia adalah pads tahun 625 H./1228 M., ketika Beliau berusia sekitar 32 tahun. Di hari-hari berikutnya semakin banyak orang-orang yang mendatangi beliau, baik penduduk setempat maupun orang-orang yang datang dari luar negeri Tunisia.

Di antara murid-murid asy Syekh yang datang dari luar negeri Tunisia; terdapat seorang pemuda yang berasal dari daerah Marsiyah, negeri Marokko, tidak jauh dari daerah tempat kelahiran asy Syekh sendiri, yang bernama Abul Abbas al Marsi. Pertemuan asy Syekh dengan pemuda ini tampak benar-benar merupakan sebuah pertemuan yang amat istimewa, sampai-sampai pada suatu hari asy Syekh berkata, “Aku tentu tidak akan ditakdirkan kembali ke negeri Tunisia, kecuali karena pemuda ini. Dialah yang akan menjadi pendampingku dan dia pulalah yang kelak akan menjadi khalifah penggantiku.” Menurut sebuah catatan, pemuda al Marsi (al Mursi) ini ketika masih berada di Maroko, pernah pula, walaupun tidak terlalu lama, berguru secara langsung kepada asy Syekh Abdus Salam sampai meninggalnya Beliau tahun 622 H./ 1225 M.

Kembalinya asy Syekh ke Tunis dari perjalanan hajinya kali ini hanyalah semata-mata untuk melanjutkan tugas mengajar dan berdakwah, seperti yang telah diperintahkan pada saat Beliau di gunung Barbathoh dan di bukit Zaghwan. Semuanya itu Beliau jalani sambil menanti datangnya “perintah” selanjutnya untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy. Pada saat pemetaan, guru Beliau itu mengatakan bahwa setelah bermukim di negeri Tunisia ini, yaitu setelah “dihajar” oleh penguasa negeri itu, maka Beliau kemudian harus melanjutkan perjalanannya menuju ke arah timur.

Dalam hari-hari penantiannya itu, pada suatu malam asy Syekh bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Waktu itu, Rasulullah berkata, “Ya Ali, sudah saatnya kini engkau meninggalkan negeri ini. Sekarang pergilah engkau ke negeri Mesir.” Kemudian Rosululloh melanjutkan, “Dan ketahuilah, wahai Ali, selama dalam perjalananmu menuju ke Mesir, Allah akan menganugerahkan kepadamu tujuh puluh macam karomah. Selain itu, di sana pula kelak engkau akan mendidik empat puluh orang dari golongan shiddiqin.”

Jadi, apabila dicermati, ketika turunnya asy Syekh dari puncak gunung di padang Barbathoh, Maroko, yang merupakan ‘langkah pertama’, adalah karena atas perintah guru beliau, asy Syekh Abdus Salam. Kemudian, pada waktu turunnya Beliau dari bukit Zaghwan di Syadzilah, sebagai ‘langkah ke dua’, adalah karena perintah Allah SWT. Sedangkan, pada kali ini, keluarnya asy Syekh dari Tunisia menuju Mesir, sebagai ‘langkah ke tiga’ atau langkah yang terakhir, merupakan perintah Rasulullah SAW.
Bermukim di Mesir

Beberapa hari asy Syekh dan rombongan melakukan perjalanan, tibalah asy Syekh di negeri Mesir. Beliau langsung menuju ke kota Iskandaria, kota indah yang selalu Beliau singgahi setiap perjalanan haji beliau. Alkisah, pads saat asy Syekh menginjakkan kaki di negeri Mesir, saat itu bertepatan tanggal 15 Sya’ban (Nisfu Sya’ban). Dan, karena takdir Allah jualah, hari itu bersamaan dengan wafatnya asy Syekh Abul Hajjaj al Aqshory, rodhiyAllahu ‘anh, yang dikenal sebagai Quthubuz Zaman pada waktu itu. Sehingga, di kemudian hari, oleh para ulama minash shiddiqin Mesir, asy Syekh Abul Hasan asy Syadzily diyakini sejak hari itu juga telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai Wali Quthub menggantikan asy Syekh Abul Hajjaj al Agshory.

Kedatangan Beliau di kota Iskandaria ini mendapatkan sambutan hangat dari Sultan Mesir maupun penduduk yang sudah banyak mengenal dan mendengar nama beliau. Tidak hanya orang-orang dari kalangan biasa, tapi juga segenap ulama, para sholihin dan shiddiqin, para ahli hadits, ahli fiqih, dan manusia-manusia yang sudah mencapai tingkat kemuliaan lainnya. Mereka semua, dengan senyum kebahagiaan membuka tangan seraya mengucapkan, “Marhaban, ahlan wa sahlan ! ” Pertemuan mereka dengan asy Syekh tampak begitu akrab dan hangatnya, seakan-akan perjumpaan sebuah keluarga yang telah lama terpisah. Sebagaimana negeri Iraq, negeri Mesir juga merupakan gudangnya para ulama besar minash sholihin di wilayah itu.

Oleh Sultan Mesir, Beliau diberi hadiah sebuah tempat tinggal yang cukup luas bernama Buruj as Sur. Tempat itu berada di kota Iskandaria, sebuah kota yang terletak di pesisir Laut Tengah. Kota Iskandaria (Alexandria) terkenal sebagai kota yang amat indah, menyenangkan, dan penuh keberkahan. Di komplek pemukiman Beliau itu terdapat tempat penyimpanan air dan kandang-kandang hewan. Di tengah-tengah komplek terdapat sebuah masjid besar, dan di sebelahnya ada pula petak-petak kamar sebagai zawiyah (tempat tinggal para murid thoriqot untuk uzlah atau suluk).

Di tempat itu pula asy Syekh melaksanakan pernikahan dan membangun bahtera rumah tangga beliau. Dari pernikahan asy Syekh, lahirlah beberapa putra dan keturunan beliau, di antaranya: asy Syekh Syahabuddin Ahmad, Abul Hasan Ali, Abu Abdullah Muhammad Syarafuddin, Zainab, dan ‘Arifatul Khair. Sebagian putra-putri Beliau itu setelah menikah kemudian menetap di kota Damanhur, tidak jauh dari Iskandaria. Sedangkan sebagian lagi tetap tinggal di Iskandaria menemani asy Syekh bersama ibunda mereka.

Seperti apa yang telah Beliau lakukan selama di Tunisia, di “negeri para Ulama” ini pun asy Syekh juga tetap berdakwah dan mengajar. Asy Syekh menjadikan kota Iskandaria yang penuh keberkahan ini sebagai pusat dakwah dan pengembangan thoriqot Beliau pada tahun 642 H./ 1244 M. Beliau kemudian membangun sebuah masjid dengan menara-menara besar yang menjulang tinggi ke angkasa. Di salah satu menara itu asy Syekh menjalankan tugas sebagai seorang guru mursyid, yaitu sebagai tempat untuk membai’at murid-murid beliau. Sedangkan di bagian menara yang lain, Beliau pergunakan sebagai tempat untuk “menyalurkan hobby” Beliau selama ini, yaitu khalwat. Selain di Iskandaria, di kota Kairo pun, sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Mesir, Beliau juga memiliki aktifitas rutin mengajar.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, majelis-majelis pengajian Beliau dibanjiri pengunjung, baik dari kalangan masyarakat awam, keluarga dan petinggi kerajaan, maupun para ulama besar dan terkemuka. Para orang-orang alim dan sholeh yang bertemu dan mengikuti penguraian dan pengajian-pengajian beliau, yang datang dari barat maupun timur, mereka semua merasa kagum dengan apa yang disampaikan oleh asy Syekh. Bahkan, tidak sampai berhenti di situ saja. Mereka kemudian juga berbai’at kepada asy Syekh sekaligus menyatakan diri sebagai murid beliau.

Dari deretan para ulama itu, terdapat nama-nama agung, seperti: Sulthonul ‘Ulama Sayyid asy Syekh ‘Izzuddin bin Abdus Salam, asy Syaikhul Islami bi Mishral Makhrusah, asy Syekh al Muhadditsiin al Hafidh Taqiyyuddin bin Daqiiqil ‘led, asy Syekh al Muhadditsiin al Hafidh Abdul ‘Adhim al Mundziri, asy Syekh Ibnush Sholah, asy Syekh Ibnul Haajib, asy Syekh Jamaluddin Ushfur, asy Syekh Nabihuddin bin’Auf, asy Syekh Muhyiddin bin Suroqoh, dan al Alam Ibnu Yasin (salah satu murid terkemuka al Imamul Akbar Sayyidisy Syekh Muhyiddin Ibnul Arabi, rodhiyAllahu ‘anh, wafat tahun 638 H./1240 M.), serta masih banyak lagi yang lainnya. Mereka semua hadir serta mengikuti dengan tekun dan seksama majelis pengajian yang sudah ditentukan secara berkala oleh asy Syekh, baik di Iskandaria maupun Kairo. Di Kairo, tempat yang biasa dipergunakan asy Syekh untuk berdakwah adalah di perguruan “Al Kamilah”.

Selain dakwah dan syiar Beliau melalui majelis-majelis pengajian, khususnya dalam bidang ilmu tasawuf, semakin berkembang dan mengalami kemajuan pesat, thoriqot yang Beliau dakwahkan pun semakin berkibar. Orang-orang yang datang untuk berbaiat dan mengambil barokah thoriqot Beliau datang dari segala penjuru dan memiliki latar belakang beraneka warna. Mulai dari masyarakat umum hingga para ulama, para pejabat hingga rakyat jelata. Zawiyah (pondok pesulukan), sebagai wadah penempaan ruhani, yang Beliau dirikan pun kian hari semakin dipadati oleh santri-santri beliau.

Thoriqot yang asy Syekh terima dari guru beliau, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, Beliau dakwahkan secara luas dan terbuka. Sebuah thoriqot yang mempunyai karakter tasawuf ala Maghribiy, yaitu lebih memiliki kecenderungan dan warna syukur, sehingga bagi para pengikutnya merasakan dalam pengamalannya tidak terlalu memberatkan. Dalam pandangan thoriqot ini, segala yang terhampar di permukaan bumi ini, baik itu yang terlihat, terdengar, terasa, menyenangkan, maupun tidak menyenangkan, semuanya itu merupakan media yang bisa digunakan untuk “lari” kepadaAllah SWT.

Selain itu, thoriqot yang Beliau populerkan ini juga dikenal sebagai thoriqot yang termudah dalam hal ilmu dan amal, ihwal dan maqam, ilham dan maqal, serta dengan cepat bisa menghantarkan para pengamalnya sampai ke hadirat Allah SWT. Di samping itu, thoriqot ini juga terkenal dengan keluasan, keindahan, dan kehalusan doa dan hizib-hizibnya.

Di samping kiprah Beliau dalam syiar dan dakwah serta pembinaan ruhani bagi para murid-muridnya, asy Syekh juga turut secara langsung terjun dan terlibat dalarn perjuangan di medan peperangan. Ketika itu, raja Perancis Louis IX yang memimpin tentara salib bermaksud hendak membasmi kaum muslimin dari muka bumi sekaligus menumbangkan Islam dan menaklukkan seluruh jazirah Arab. Asy Syekh, yang kala itu sudah berusia 60 tahun lebih dan dalam keadaan sudah hilang pengelihatan, meninggalkan rumah dan keluarga berangkat ke kota Al Manshurah. Beliau bersama para pengikutnya bergabung bersama para mujahidin dan tentara Mesir. Sedangkan pada waktu itu pasukan musuh sudah berhasil menduduki kota pelabuhan Dimyat (Demyaat) dan akan dilanjutkan dengan penyerbuan mereka ke kota Al Manshurah.

Selain syekh Abul Hasan, tidak sedikit para ulama Mesir yang turut berjuang dalam peristiwa itu, antara lain: al Imam syekh Izzuddin bin Abdus Salam, syekh Majduddin bin Taqiyyuddin Ali bin Wahhab al Qusyairi, syekh Muhyiddin bin Suroqoh, dan syekh Majduddin al Ikhmimi. Para shalihin dan ulama minash shiddiqin itu, di waktu siang hari berpeluh bahkan berdarah-darah di medan pertempuran bersama para pejuang lainnya demi tetap tegaknya panji-panji Islam. Sedangkan, apabila malam telah tiba, mereka semua berkumpul di dalam kemah untuk bertawajjuh, menghadapkan diri kepada Allah SWT, dengan melakukan sholat dan menengadahkan tangan untuk berdoa dan bermunajat kepada “Sang Penguasa” agar kaum muslimin memperoleh kemenangan. Setelahh selesai mereka beristighotsah, di tengah kepekatan malam, mereka kemudian mengkaji dan mendaras kitab-kitab, terutama yang dinilai ada hubungannya dengan situasi pada saat itu. Kitab-kitab itu antara lain: Ihya Ulumuddin, Qutul Qulub, dan ar Risalah.

Dan, alhamdulillah, karena anugerah Allah jualah akhirnya peperangan itu dimenangkan oleh kaum muslimin. Raja Louis IX beserta para panglima dan bala tentaranya berhasil ditangkap dan ditawan. Perlu diketahui, sebelum berakhirnya peperangan itu, pada suatu malam asy Syekh, dalam mimpi beliau, bertemu dengan Rasulullah SAW. Pada waktu itu, Rasulullah SAW berpesan kepada Beliau supaya memperingatkan Sultan agar tidak mengangkat pejabat-pejabat yang lalim dan korup. Dan Rasulullah menyampaikan bahwa pertempuran akan segera berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin. Maka, pada pagi harinya asy Syekh pun mengabarkan berita gembira itu kepada teman-teman seperjuangan beliau. Dan kenyataannya, setelah pejabat-pejabat tersebut diganti, maka kemenangan pun datang menjelang. Peristiwa berjayanya kaum muslimin itu terjadi pada bulan Dzul Hijjah tahun 655 H./1257 M. Usai peperangan itu asy Syekh lalu kembali ke Iskandaria.
Wafatnya Asy Syekh Abil Hasan Asy Syadzily

Asy Syekh menjalankan dakwah dan mensyiarkan thoriqotnya di negeri Mesir itu sampai pada bulan Syawal 656 H./1258 M. Pada awal bulan Dzul Qa’dah tahun itu juga, terbetik di hati asy Syekh untuk kembali menjalankan ibadah haji ke Baitullah. Keinginan itu begitu kuat mendorong hati beliau. Maka, kemudian diserukanlah kepada seluruh keluarga Beliau dan sebagian murid asy Syekh untuk turut menyertai beliau. Ketika itu asy Syekh juga memerintahkan agar rombongan membawa pula seperangkat alat untuk menggali. Memang suatu perintah yang dirasa agak aneh bagi para pengikut beliau. Pada saat ada seseorang yang menanyakan tentang hal itu, asy Syekh pun menj awab, “Ya, siapa tahu di antara kita ada yang meninggal di tengah perjalanan nanti.”

Pada hari yang sudah ditentukan, berangkatlah rombongan dalam jumlah besar itu meninggalkan negeri Mesir menuju kota Makkah al Mukarromah. Pada saat perjalanan sampai di gurun ‘Idzaab, sebuah daerah di tepi pantai Laut Merah, tepatnya di desa Khumaitsaroh, yaitu antara Gana dan Quseir, asy Syekh memberi aba-aba agar rombongan menghentikan perjalanan untuk beristirahat. Setelah mereka semua berhenti, lalu didirikanlah tenda-tenda untuk tempat peristirahatan. Kemudian, setelah mereka sejenak melepas penatnya, lalu asy Syekh meminta agar mereka semua berkumpul di tenda asy Syekh.

Setelah para keluarga dan murid Beliau berkumpul, lalu asy Syekh memberikan beberapa wejangan dan wasiat-wasiat Beliau kepada mereka. Di antara wasiat yang Beliau sampaikan, asy Syekh mengatakan, “Wahai anak-anakku, perintahkan kepada putra-putramu agar mereka menghafalkan HIZIB BAHRI. Karena, ketahuilah bahwa di dalam hizib itu terkandung Ismullahil a’dhom, yaitu nama-nama Allah Yang Maha Agung.”

Kemudian, setelah asy Syekh menyampaikan pesan-pesan Beliau itu, lalu asy Syekh bersama dengan murid terkemuka beliau, asy Syekh Abul Abbas al Marsi, meninggalkan mereka ke suatu tempat yang tidak jauh dari tenda-tenda itu. Tapi dalam waktu yang tidak terlalu lama, sepasang insan mulia itu sudah kembali masuk ke tenda semula, di mana pada waktu itu seluruh keluarga dan para murid Beliau masih menunggunya. Setelah asy Syekh kembali duduk bersama mereka lagi, kemudian Beliau berkata, “Wahai putera-puteraku dan sahabat-sahabatku, apabila sewaktu-waktu aku meninggalkan kalian nanti, maka hendaklah kalian memilih Abul Abbas al Marsi sebagai penggantiku. Karena, ketahuilah bahwa dengan kehendak dan ridho Allah SWT, telah aku tetapkan dia untuk menjadi khalifah yang menggantikan aku setelah aku tiada nanti. Dia adalah penghuni maqom yang tertinggi di antara kalian dan dia merupakan pintu gerbang bagi siapa saja yang menuju kepada Allah SWT.”

Pada waktu antara maghrib dan ‘isya, Beliau tiba-tiba berkehendak untuk mengerjakan wudhu. Kemudian Beliau memanggil asy Syekh Abu Abdullah Muhammad Syarafuddin, rodliyAllahu ‘anh, salah satu putera beliau, “Hai Muhammad, tempat itu (asy Syekh menunjuk ke sebuah timba) agar engkau isi dengan air sumur itu.” Di luar tenda memang terdapat sebuah sumur yang biasa diambil airnya oleh para kafilah yang melintas di daerah itu. Air sumur itu rasanya asin karena tempatnya me¬mang tidak tidak terlalu jauh dari tepi laut atau pantai.

Mengetahui air sumur itu asin, maka putra Beliau itu pun memberanikan diri untuk matur dengan mengatakan, “Wahai guru, air sumur itu asin, sedangkan yang hamba bawa ini air tawar.” Syekh Syarafuddin menawarkan kepada Beliau air tawar yang sudah disiapkan dan memang sengaja dibawa sebagai bekal di perjalanan. Kemudian asy Syekh mengatakan, “Iya, aku mengerti. Tapi, ambilkan air sumur itu. Apa yang aku inginkan tidak seperti yang ada dalam pikiran kalian.” Selanjutnya oleh putera Beliau itu lalu diambilkan air sumur sebagaimana yang asy Syekh kehen¬daki. Setelah selesai berwudhu, kemudian asy Syekh berkumur dengan air sumur yang asin itu lalu menumpahkan ke dalam timba kembali. Setelah itu Beliau memerintahkan agar air bekas kumuran tersebut dituangkan kembali ke dalam sumur. Sejak saat itu, dengan idzin Allah Yang Maha Agung, air sumur itu seketika berubah menjadi tawar dan sumbernya pun semakin membesar. Sumur itu hingga sekarang masih terpelihara dengan baik.

Setelah itu kemudian asy Syekh mengerjakan sholat ‘isya lalu diteruskan dengan sholat-sholat sunnat. Tidak berapa lama kemudian asy Syekh lalu berbaring dan menghadapkan wajah Beliau kepada Allah SWT (tawajjuh) seraya berdzikir sehingga, kadang-kadang, mengeluarkan suara yang nyaring, sampai-sampai terdengar oleh para murid dan sahabat-sahabat beliau. Pada malam itu tiada henti-hentinya asy Syekh memanggil-manggil Tuhannya dengan mengucapkan, “Ilaahiy, ilaahiy, ” (Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku, ………..). Dan kadang-kadang pula Beliau lanjutkan dengan mengucapkan, “Allahumma mataa yakuunul liqo’ ?” (“Ya Allah, kapan kiranya hamba bisa bertemu?”). Sepanjang malam itu, keluarga dan murid asy Syekh dengan penuh rasa tawadhu’, saling bergantian menunggui, merawat, dan mendampingi beliau.

Ketika waktu sudah sampai di penghujung malam, yaitu menjelang terbitnya fajar, setelah asy Syekh sudah beberapa saat terdiam dan tidak mengeluarkan suara, maka mereka pun mengira bahwa asy Syekh sudah nyenyak tertidur pulas. Asy Syekh Syarafuddin perlahan-lahan mendekati beliau. Kemudian, dengan cara yang amat halus, putera Beliau itu lalu menggerak-gerakkan tubuh asy Syekh. Sedikit terkejut dan tertegun syekh Syarafuddin mendapatinya, karena asy Syekh al Imam al Quthub, rodhiyallahu ‘anh, ternyata sudah berpulang ke rohmatullah. Inna lillahi wa inna ilaihi roji ‘un. Ketika itu Beliau berusia 63 tahun, sama dengan usia Rasulullah SAW.

Setelah sholat subuh pada pagi hari itu, jasad asy Syekh nan suci pun segera dimandikan dan dikafani oleh keluarga dan para murid beliau. Sedangkan ketika matahari mulai tinggi, semakin banyak pula para ulama, shiddiqin, dan auliya’ulloh agung berduyun-duyun berdatangan untuk berta’ziyah dan turut mensholati jenazah beliau, termasuk di antaranya kadinya para kadi negeri Mesir, asy Syekh al Waly Badruddin bin Jamaah. Hadir pula di antara mereka para pangeran dan pejabat kerajaan. Kehadiran para insan mulia dan pembesar-pembesar negara di tempat itu, selain untuk memberikan penghormatan kepada sang Imam Agung.

Yusrian ARP

Musibah dan kegagalan adalah cara tuhan mengingatkan manusia bahwa hanya Dialah yg maha berkuasa atas segala keinginan dan segala kehendak

Read More

Kumpulan puisi Idris Wahid

Puisi-puisi Idris Wahid Sajak Para Malaikat Puisi yang belum selesai, kini membangunkan aku dari mimpi hidup, ia menemui malaikat Rahman ...

Foto Saya
My Photo
Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS