Puisi-puisi Idris Wahid
Sajak Para Malaikat
Puisi yang belum selesai, kini membangunkan aku dari mimpi hidup,
ia menemui malaikat Rahman agar segera menancapkan kembali kesadaranku,
ia menghadap malaikat Rahim agar bergegas mengadzaniku.
Ia bentak-bentak para pengawal ruang sadarku, ia maki-maki para ksatria jiwaku.
seakan ia tak rela jika tinta ini habis sebelum masanya, ia tak mengijinkan kertas ini sobek
sebelum liurku mengendap atas namanya.
Tetapi ia tak murka, semurka maunya, tetapi ia tak menangis semiris keluhnya.
Silahkan Kekasih membongkar wajah kemalasyan ini,
Cobalah jebol pagar pembatas kesungguhan ini. Sampai ada lubang untuk aku biacara
Universitas TIM Cikini
Nyanyian Kenangan
Siapa sangka kalau kita sudah merdeka
Satu abad rasanya
Kebangkitan Nasional dikenang dilayar lebar
Namun siapa nyana
Jika sekedar tema seminar, workshop
Atau bahkan simposium kebangsaan
Siapa bilang negeri kita loyo,
Kebangkitan ultra nasional
Perayaan semangat juang
Selebrasi kaum TNI-POLRI
Bertumpah ruah di negeri ini
Siapa sangka air mata leluhur
Menjadi menu ice jus dan batagor
Disajikan lengkap pernak-pernik bangsawan
Berharap bisa nyapres tahun depan
Siapa bilang negeri ini hina,
Dengan latar kraton Jawa
Kepongahan sang begawan
Menjelma betebar roh-roh
Kemengahan singgasana
Siapa bilang negeri ini miskin,
Emang kalian tak ngerti
Kalau kita ini gemah ripah loh jinawi
Menjadi platform Indonesia sejati
Meskipun dalam mimpi
Bukit Bintang, Malaysia/2010
Jejak
Nasehat Untuk “terkasih”
Diayun ayun dengan cara apa lagi, agar kekasih sanggup menanti
Selendang iradzah itu menempel diranum wajah tanpa lelah,
Harus dengan cara apa lagi, agar kekasih sungguh terkasih.
Sementara ratusan, bahkan puluah ribu mata meminta jawab tanpa tanya
Memejamkan hati untuk meniadakan rasionalitasnya
Kekasih,
Kau jangan ikut mengumpat.
Sebab kata adalah jaminan pintu selamat
Kau jangan ikut berserak
Sebab perceraian menyumbat rahmat yang sebentar lagi mampir
Kekasih,
Sudah sediakan saja tempayan cintamu untuk sarapan kita kelak
Akupun sudah rindu dengan pagi yang selalu kau temani
Ini bukan rayuan ataupun bualan lelaki masa kini,
Ini juga bukan permintaan, melainkan keharusan Adamiyah
PBNU, 2012
Berdirilah
Aku berlari diatas bara
yang terbuat dari fatwa dan sejarah
riuh angin fajar
mendesir embun dedaun Tuhan
Aku berendam di Pasir Sungai
Merindu pesakitan akal
Liur darah hidup menyelinap sepi
selalu kunanti dan kurengkuh sendiri
musola pbnu, 2012
Nihayah
aku bertutur pada rimba nihayahku
menyandarkan lelah usai pengembaraan
aku berjejal disemak persemayaman
sekadar mengumam senyum diperbatasan
Nyanyian Sebrang
sudah sampai waktunya
cendawan madu mengulurkan layurnya
berbatas resah diatap basah
Indahnya Kerudung
Kerudung yang kubawakan untukmu, Sayangku
Masih hafalkah warnanya
Sarung sutra yang kau pinjamkan untukku, Sayangku
Masih kusimpan dalam kenangnya
Rukoh yang kau titipkan padaku, kekasihku
Masih tertata rapih sedia kala
Bahkan sesekali tetangga meminjamnya
Pada sore yang binar
Aku melihatmu telanjang bulat
Memakan senja seolah petang menjemput
Moleknya tubuh hawa
Semangat yang aku titipkanpadamu, Sayangku
Masihkah kau jaga untukku
Masihkah kau memimpi menjadi aku
Sudahlah sayangku bangun dari tidurmu
Perawan itu aku jaga
Melebihi perjakaku
Nafsumu aku bungkam
Dengan nafsu cita desaku
Bangkok, Thailand/ 2010
Sekolah Asal-Asalan
Bapak guru yang terhormat
Aku memang banyak tingkah
Tapi aslinya khidmat
Ajukan konsep perubahan
Berdalih investasi masa depan
Ujung-ujungnya sich bantuan finansial
Bapak guru yang tercinta
Program dan kebjikanmu numpuk
Berjejal menghiasi lantai marmer
Layaknya kantor kementerian
Ambisimu sibuk
Dengarkan khotbah para tetangga
Investor asing siap membeli gedung kita
Kualitas murid itu nomor dua
yang utama itu bantuan selalu ada
kualitas guru itu nomor tiga
yang penting itu status sekolahannya
Pasar Bugis, Singapure/2010
Pasrah
Aku hanya bisa
Jadi hinaan yang
Sederhana
Maka aku bertaut
Bersama fitnahnya
Memungkinkan
Atau tidaknya
Memang demikian adanya
Hat-Yai, Thailand 2010
No comments:
Post a Comment